Kala Dugaan Suap Wali Kota "Berkedok" CSR Klub Sepak Bola
Utama

Kala Dugaan Suap Wali Kota "Berkedok" CSR Klub Sepak Bola

ICW menemukan modus beragam dalam kasus-kasus korupsi kepala daerah. Selain "kedok" CSR, ada juga perusahaan yang mencatatkan uang suap sebagai anggaran entertain dan bantuan.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Kala Dugaan Suap Wali Kota
Hukumonline
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap sejumlah pihak atas dugaan suap Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi pada Jumat, 22 September 2017. Dugaan suap itu terkait dengan perizinan pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kota Cilegon, Banten tahun 2017.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, dalam OTT kali ini, KPK mengungkap modus operandi baru. Modus baru dimaksud adalah kepala daerah diduga menggunakan saluran Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan kepada klub sepak bola daerah Cilegon United Football Club sebagai sarana untuk menerima suap.

"(Cilegon United Football Club) diindikasi digunakan sebagai saranan untuk menyamarkan dana agar tercatat dalam pembukuan sebagai CSR atau sponsorship perusahaan, yaitu PT BA dan PT KIEC. Diduga hanya sebagian dari bantuan yang benar-benar disalurkan pada CU (Cilegon United) Football Club," katanya dalam keterangan persnya di KPK, Sabtu (23/9).

Peristiwa ini bermula dari OTT KPK pada Jumat (22/9). Sekitar pukul 15.30 WIB, tim KPK mengamankan sejumlah orang di beberapa lokasi secara berturut-turut. Pertama, tim mengamankan CEO Cilegon United Football Club berinisial YA bersama tiga stafnya sesaat setelah melakukan penarikan uang sejumlah Rp800 juta di Bank BJB cabang Cilegon.

Selanjutnya, tim bergerak menuju kantor Cilegon United Football Club dan mengamankan uang sejumlah Rp352 juta. Uang itu diduga sebagai sisa dana pemberian pertama sebesar Rp700 juta yang ditransfer dari PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) kepada Cilegon United Football Club. Tim mengamankan pula Bendahara Cilegon United Football Club berinisial W.

Tim lainnya bergerak menuju Tol Cilegon Barat, lalu mengamankan Project Manager PT Brantas Abipraya (BA) Bayu Dwinanto Utomo (BDU) bersama satu orang staf dan seorang sopir. Tim juga mengamankan Legal Manager PT KIEC Eka Wandoro Dahlan (EWD) di daerah Kebon Dalem, Cilegon dan Kepala BPTPM Kota Cilegon, Ahmad Dita Prawira (ADP) di kantornya.

Sedangkan, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi (TIA) datang ke KPK sekitar pukul 23.30 WIB pada Jumat (22/9) dan kemudian diamankan tim untuk dilakukan pemeriksaan. Terakhir, pada hari Sabtu, 23 September 2017 sekitar pukul 14.00 WIB, seorang pihak swasta bernama Hendry (H) datang ke KPK dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. (Baca Juga: Capaian OTT Terbanyak Sepanjang Sejarah KPK dan Tunggakan Perkara)

Basaria mengungkapkan, total kesepakatan suap diduga berjumlah Rp1,5 miliar. Uang itu diduga untuk memuluskan proses perizinan, yaitu rekomendasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebagai salah satu persyaratan perizinan pembangunan mall Transmart yang berada di wilayah PT KIEC dan nantinya akan disewakan kepada Transmart.

"Perusahaan ini bingung mengeluarkan dalam bentuk apa. Tidak mungkin PT KIEC dan PT BA mengeluarkan uang begitu saja tanpa alasan yang jelas. Itu sebabnya saya katakan tadi, ini merupakan modus baru. Mereka sepakati seolah-olah menjadi CSR dari perusahaan tersebut. Kenapa itu yang dipilih? Ini (diduga) memang atas petunjuk dari TIA," ujarnya.

Menurut Basaria, pemberian uang dilakukan sebanyak dua kali melalui transfer ke rekening Cilegon United Football Club. Pertama, sebesar Rp700 juta PT KIEC pada tanggal 19 September 2017. Kedua, sebesar Rp800 juta dari PT BA pada tanggal 22 September 2017. Namun, total uang yang diamankan KPK berjumlah Rp1,152 miliar.

"Rp800 juta dan Rp352 juta sisa dari Rp700 juta. Uang itu merupakan bagian dari komitmen senilai Rp1,5 miliar yang diduga diberikan untuk Wali Kota Cilegon melalui transfer dari PT KIEC dan PT BA melalui Cilegon United agar dikeluarkannya perizinan untuk pembangunan Transmart," imbuhnya.

Setelah melakukan pemeriksaan yang dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menemukan bukti permulaan cukup dan menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji oleh Wali Kota Cilegon dan pihak lain terkait dengan perizinan pada BPTPM Kota Cilegon tahun 2017.

KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan, serta menetapkan enam orang tersangka, yaitu TIA, ADP, dan H yang diduga sebagai pihak penerima suap. BDU, Direktur Utama PT KIEC berinisial TDS (Tubagus Donny Sugihmukti), dan EWU yang diduga sebagai pihak pemberi.

BDU, TDS, dan EWU disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, TIA, ADP, dan H disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Saat ini, Minggu (24/9), kelima tersangka, TIA, ADP, H, BDU, dan EWU sudah ditahan KPK untuk 20 hari pertama. TIA ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK, ADP di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur, EWD dan H di Rutan Polres Jakarta Pusat, serta BDU di Rutan Polres Jakarta Timur. Sementara, TDS belum ditemukan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, terkait dengan TDS yang belum diamankan saat OTT kemarin, akan dipanggil pada hari Selasa, 26 September 2017. "Kami harap yang bersangkutan kooperatif dan memenuhi panggilan tersebut," ucapnya.

Dengan adanya kepala daerah yang kembali terjerat kasus korupsi, KPK mengingatkan agar penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan transparansi. Termasuk, dalam proses perizinan yang menjadi kewenangan kepala daerah dan jajarannya. (Baca Juga: Sepanjang 2016, Tiap Bulan KPK Lakukan Operasi Tangkap Tangan)

Sebab, tindak pidana korupsi yang dilakukan akan berdampak buruk pada iklim bisnis dan pertumbuhan ekonomi di daerah. KPK berharap proses perizinan harus lebih sederhana, mudah diakses, dan memungut biaya berdasarkan aturan hukum yang berlaku atau tidak meminta/melakukan pungutan melebihi aturan yang ada.

Di sisi lain, KPK meminta agar para pelaku bisnis menerapkan bisnis yang sehat melalui prinsip good corporate governance di perusahannya dan menyusun aturan ketat tentang larangan pemberian dalam bentuk apapun terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara. KPK meminta segala informasi terkait permintaan biaya lebih dalam perizinan atau hal lain agar segera dilaporkan kepada KPK dan penegak hukum lainnya.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten, dalam rangka mendukung kegiatan investasi di sektor industri, Provinsi Banten menyediakan tiga kawasan industri yang masuk dalam program Kemudahan Layanan Investasi Langsung Konstruksi (KLIK).

Tiga kawasan industri dimaksud adalah Kawasan Modern Cikande Industrial Estate di Kabupaten Serang seluas 1800 hektar, Kawasan Industri Wilmar Bojonegara di Kabupaten Serang seluas 800 hektar, dan Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) seluas 570 hektar.

Berkaitan dengan kawasan industri KIEC, seperti dilansir dari situs perusahaan kiec.co.id, PT KIEC yang merupakan anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking ceremony Transmart, di Jl KH Yasin Beji No.2 Cilegon pada 14 Juli 2017 lalu.

Dalam acara itu, turut hadir jajaran direksi dan manajemen PT Krakatau Steel, Wali Kota Cilegon, President Director dan CEO PT Trans Retail Indonesia Shafie Shamsudin, serta pihak PT Brantas Abipraya yang juga perusahaan plat merah, selaku kontraktor Proyek Pembangunan Gedung Transmart. (Baca Juga: 17 Operasi Tangkap Tangan KPK Terheboh)

PT Brantas Abipraya sendiri bukan nama yang asing bagi KPK. Direktur Keuangan & Human Capital PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko dan Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno pernah terjerat kasus korupsi di KPK. Keduanya, masing-masing divonis tiga tahun dan 2,5 tahun penjara karena terbukti menjanjikan suap kepada Kepala dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melalui seorang perantara bernama Marudut.

Berbagai modus korupsi kepala daerah
Terkait modus suap yang diduga dilakukan Wali Kota Cilegon bersama sejumlah pihak menggunakan sarana CSR perusahaan plat merah kepada klub sepak bola daerah memang tergolong baru di KPK. Namun, bisa jadi modus semacam itu bukan benar-benar baru dalam praktik korupsi kepala daerah.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan, berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2010-2015 saja, terdapat sekitar 183 kepala daerah yang tersangkut korupsi. "Soal spesifik (modus) CSR klub sepak bola, perlu dicek lagi apa baru kali ini atau sebelumnya pernah. Kalau pun belum, mungkin sudah umum tapi belum terungkap," tuturnya kepada hukumonline.

Walau begitu, menurutnya, modus "penyamaran" uang suap yang dibuat perusahaan dalam bentuk pos anggaran tertentu, bentuknya beragam. Tidak hanya dalam bentuk anggaran CSR, tetapi ada pula perusahaan yang mencatatkan dan melaporkan sebagai dana enternain dan bantuan, meski sebenarnya uang itu digunakan untuk menyuap.

Mengenai sistem perizinan yang telah dibuat menjadi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Almas berpendapat, tetap saja terdapat peluang korupsi. Sebab, sebagus apapun sistem yang dibangun pemerintah, dibutuhkan hal lain utk menekan peluang korupsi. Misalnya, sistem pengawasan yang bagus, baik dari eksternal maupun internal.

Namun, secara umum, suap perizinan pembangunan bukan satu-satunya "tren" korupsi yang ditemukan dalam kasus-kasus korupsi kepala daerah. Almas menjelaskan, selain izin pembangunan, ada juga suap perizinan terkait pemanfaatan lahan dan perkebunan. "Kalau modus lainnya, ya misal mark up proyek, penempatan jabatan, dan lain-lain," tandasnya.

Berdasarkan catatan KPK, sepanjang 2004-2016, terdapat 75 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Korupsi para kepala daerah itu menyangkut sejumlah sektor, seperti perizinan, regulasi (pembahasan Rancangan Peraturan Daerah), penegakan hukum, pengadaan, dan penempatan jabatan. Adapun modus-modus suap yang digunakan bentuknya berbagai macam.

Ada yang menerima kickback atau imbal jasa melalui pihak-pihak tertentu. Ada yang mematok fee sekian persen untuk pengadaan dan ada yang memungut "upeti" untuk penempatan jabatan, kemudian "setoran" dipul ke sejumlah pihak. Ada pula yang menggunakan rekening kerabat, keluarga, teman, atau pihak lain untuk menampung duit hasil korupsi.

Tentu, masih banyak modus lain yang ditemukan dalam kasus-kasus korupsi kepala daerah. Berdasarkan catatan hukumonline, sepanjang 2017, sudah enam kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Modus-modus yang diduga dilakukan para kepala daerah itu untuk menerima suap pun berbeda-beda.
NoKepala DaerahOTTModus
1 Gubenur Bengkulu Ridwan Mukti Juni 2017 Ridwan diduga menerima fee 10 persen dari dua proyek jalan di Bengkulu. Fee diberikan melalui rekannya di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Bengkulu, Rico Dian Sari untuk kemudian diserahkan kepada istrinya Lily Martiani Maddari.
2 Bupati Pamekasan Achmad Syafii Agustus 2017 Achmad bersama sejumlah pihak diduga menyuap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan untuk pengurusan penghentian kasus dugaan penyimpangan penggunaan dana desa di Kabupaten Pamekasan. Tak tanggung-tanggung, penyuapan ini dilakukan bersama-sama Inspektur Kabupaten Pamekasan yang seharusnya menjadi pengawas intern pemerintah daerah.
3 Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno Agustus 2017 Perempuan yang akrab disapa Bunda Sitha ini bersama bakal calon pasangannya untuk maju di Pilkada Kota Tegal 2018, Amir Mirza Hutagalung terjaring dalam OTT KPK. Keduanya diduga telah berupaya mengumpulkan "pundi-pundi" uang untuk maju dalam Pilkada 2018 sejak awal 2017.
Sepanjang Januari-Agustus 2017, keduanya disebut KPK telah mendapatkan uang sejumlah Rp5,1 miliar yang diduga bersumber dari setoran bulanan kepala dinas, fee proyek, dan suap pengelolaan dana jasa kesehatan di RSUD Kardinah.
4 Bupati Batu Bara OK Arya Zulkarnain September 2017 Arya diduga menerima suap terkait sejumlah proyek di Kabupaten Batu Bara. Fee sejumlah Rp4,4 miliar atau 10 persen dari nilai proyek itu diduga diterima Arya dari dua kontraktor melalui sejumlah pihak, yaitu kepala dinas dan seorang pemilik dealer mobil bernama Sujendi Tarsono.
Sujendi diduga bertindak sebagai "pengepul" uang suap yang diterima Arya. KPK menyebutkan, apabila sewaktu-waktu membutuhkan uang, Arya akan meminta uang kepada Sujendi dan memerintahkan orang untuk mengambil uang dari Sujendi.
5 Wali Kota Batu Eddy Rumpoko September 2017 Eddy diduga menerima suap terkait proyek pengadaan meubelair di Pemerintah Kota Batu tahun anggaran 2017 dari pengusaha bernama Filipus Djap. Seperti OTT kepala daerah sebelumnya, fee yang ditetapkan berjumlah 10 persen dari nilai proyek atau dalam kasus ini, sekitar Rp500 juta.
Dari hasil penangkapan, KPK menyita uang sejumlah Rp200 juta dan mobil Toyota Alphard. Diduga, uang yang diserahkan kepada Eddy hanya berjumlah Rp200 juta, sedangkan sisanya, Rp300 juta sudah digunakan Filipus untuk melunasi cicilan Alphard Eddy.
6 Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi September 2017 Iman diduga menerima suap Rp1,5 miliar dari perusahaan BUMN dan anak usaha BUMN terkait proses perizinan pembangunan mall Transmart di Kota Cilegon. KPK menilai modus yang diduga dilakukan Wali Kota Cilegon ini terbilang baru karena menggunakan sarana CSR perusahaan kepada klub sepak bola sebagai "penampung" uang suap.
Tags:

Berita Terkait