Dunia Siber yang Tidak Maya
Kolom

Dunia Siber yang Tidak Maya

Cyberspace bukan ruang khayalan atau angan-angan yang nyatanya tidak ada atau sulit dibuktikan! Karena dunia siber memang tidak maya!

Bacaan 2 Menit
Teguh Arifiyadi. Foto: Istimewa
Teguh Arifiyadi. Foto: Istimewa
Teori bumi datar bisa jadi teori kontroversial, tapi dalam isu globalisasi, berlaku teori ”the world is flat” yang pernah ditulis oleh Thomas L. Friedman seorang coloumnist asing The New York Times dalam bukunya ”World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century” (2005). 

Teknologi Informasi (yang saat ini serba virtual) digambarkan oleh Friedman berpengaruh besar terhadap globalisasi. Bedanya sisi datar dunia versi virtual saat ini belum presisi terukur. Belum ada angka pasti seberapa luas ‘dunia baru’ yang bisa dibuat manusia tersebut. ‘Dunia baru’ tersebut kita mengenalnya dengan nama cyberspace (ruang cyber).

Meskipun saat itu penyebutannya hanya sebuah “ruang”, besaran atau luas cyber sendiri tentu jauh lebih luas di banding sebuah ruang. Cyberspace dengan dukungan kemajuan teknologi internet berkembang menjadi sebuah “cyber world” atau dunia cyber. Internet menopang ruang cyber menjadi dunia yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia sebelumnya. Bahkan Jhon Chamber, mantan President dan CEO terkemuka di Amerika Serikat menyebut bahwa dampak revolusi internet mungkin lebih besar dari dampak revolusi industri yang pernah terjadi.

Meskipun cyberspace berhubungan erat dengan teknologi dan hal-hal yang berkaitan dengan istilah teknis, asal muasal istilah cyber itu sendiri justru bukan merupakan istilah teknologi atau istilah teknis. Istilah cyber pertama kali diperkenalkan justru pada sebuah novel fiksi ilmiah karangan William Ford Gibson tahun 1971.

Gibson menginterprestasikan cyberspace sebagai perkawinan antara komputer, jaringan telekomunikasi, dan multimedia. Padahal di era tersebut internet baru saja lahir dan masih seru-serunya ‘diasuh’ oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam proyek  ARPANET (Advanced Research Project Agency Network). Itulah salah satu alasan kenapa William Ford Gibson dijuluki “The Man Who Saw Tommorrow”.

Bagaimana dengan di Indonesia?
Istilah cyberspace itu sendiri diprediksi mulai banyak digunakan oleh pegiat teknologi informasi di Indonesia sejak tahun 90-an. Istilah cyberspace di era 90-an berkesan sangat futuristik dan progresif bagi yang mendengarnya pada saat itu. Namun entah siapa yang memulai duluan, istilah cyberspace kemudian dialihbahasakan menjadi kata “maya” atau “mayantara”.

Di tahun 2000-an, istilah “dunia maya” mulai digunakan oleh beberapa situs media online untuk menyebut cyberspace. Dalam beberapa artikel hukum ilmiah, istilah “cyber” banyak dialihbahasakan menjadi “mayantara”. Prof. Barda Nawawi Arief, Guru Besar Fakultas Hukum Undip misalnya, dalam berbagai artikel ilmiahnya beliau mengenalkan “cyber crime” sebagai “tindak pidana mayantara”. Sayangnya penulis belum mendapat gambaran historis maupun filosofis, mengapa kata “mayantara” yang dipilih untuk digunakan beliau pada saat itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, “maya” diartikan sebagai “hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia lain mengartikan “maya” sebagai “yg khayal; yang sebenarnya/tak ada: angan-angan belaka” (Suharso, Ana Retnoningsih, 2008), ada juga Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Tim PrimaPena mengartikan “maya” sebagai “yang ada dalam khayalan, yang ada dalam angan-angan; tampaknya ada tapi sulit dibuktikan”. Kesemuanya merujuk pada makna “maya” yang berarti tidak benar-benar ada!

Pertanyaannya adalah apakah ruang cyber adalah ruang khayalan atau ruang angan-angan yang nyatanya tidak ada atau sulit dibuktikan? Saya yakin kita sepakat bahwa ruang cyber adalah ruang nyata dalam bentuk virtual. Meski banyak pangguna yang berpura-pura nyata di ruang cyber, namun ruang atau dunia cyber itu sendiri nyata keberadaannya.

Ruang cyber saat ini bisa dimanfaatkan manusia untuk banyak hal, ruang tersebut bisa kita nikmati keberadaannya sekaligus merasakan dampak negatifnya, ruang cyber bahkan membantu menampung khayalan dan angan untuk diwujudkan dalam bentuk fisik nyata yang bisa disentuh oleh manusia. Mengartikan cyber dengan kata “maya” tanpa memahami sisi historis dan filosofis, dapat menuntun pada pemaknaan yang kurang pas terhadap arti “cyber” itu sendiri.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di tahun 2008 tadinya memberi harapan akan kejelasan padanan yang pas untuk kata “cyber”. Nyatanya, UU ITE tahun 2008 tidak menyebut sedikitpun istilah tentang cyber, meski dengan istilah atau kata yang berbeda sekalipun.

UU ITE beserta Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunannya  (PP 82 Tahun 2012) lebih berkompromi dengan istilah “elektronik”. Tersebut didalamnya istilah-istilah seperti “Informasi Eletronik”, “Dokumen Elektronik”, “Sistem Elektronik”, “Agen Elektronik” dan “Perangkat Elektronik” yang bagi para pegiat teknologi informasi sendiri saat itu sangat jarang didengar—meski ada—dalam istilah teknis. Itulah mungkin salah satu alasan seorang sosiolog dari UGM pernah mengkritik bahwa UU ITE tidaklah membumi!

Nah di revisi UU ITE tahun lalu (Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016), istilah cyber akhirnya mucul juga dengan menggunakan serapan kata “siber”. Istilah “siber” muncul dalam penjelasan pasal 29 UU ITE Revisi. Istilah “siber” muncul dengan pemaknaan frasa “cyber bulliying” yang diartikan sebagai “perundungan di dunia siber”. Meskipun istilah tersebut hanya muncul di “level” penjelasan, dan bukan pada norma atau ketentuan umum, setidaknya istilah “siber” pernah tersebut dalam regulasi yang berlaku nasional yang bisa menjadi rujukan bahasa populer media massa.

Istilah “siber” itu sendiri dalam pembahasan Revisi UU ITE tahun lalu telah dikonsultasikan dengan perwakilan salah satu ahli bahasa yang saat itu ditunjuk pemerintah yakni Dr Junaiyah. Beliau berpendapat “bully” lebih tepat diartikan dengan “perundungan”, demikian juga “cyber” akan lebih tepat jika diserap menjadi kata “siber” agar tidak menghilangkan esensi atau makna “cyber” itu sendiri.

Penegasan istilah “siber” sendiri akhirnya ‘ditahbiskan’ pada Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN). Ratusan kata “siber” muncul dalam norma peraturan tersebut tanpa ada upaya pemadanan dengan istilah lain. Disinilah seharusnya semakin tidak ada keraguan untuk mengesampingkan istilah “dunia maya” menjadi dunia siber.

Tulisan ini, tentu tidak akan membahas lebih jauh bagaimana penggunaan pedoman penyerapan bahasa asing untuk membakukan istilah “siber”, karena bukan menjadi kompetensi penulis. Namun satu hal yang pasti bahwa cyberspace bukan ruang khayalan atau angan-angan yang nyatanya tidak ada atau sulit dibuktikan! Karena dunia siber memang tidak maya!

*) Teguh Arifiyadi, S.H.M.H. CHFI adalah Founder/Chairman of Indonesia Cyber Law Community (ICLC).

Penulis merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang jurusan Hukum Pidana dan Magister Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Aktifitas penulis saat ini adalah sebagai Kepala Subdit Penyidikan dan Penindakan di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Penulis adalah Pendiri dan Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) dan Ketua Komite Legal dan Etik, Asosiasi Forensik Digital Indonesia (AFDI). Beberapa keterangan ahli yang pernah diberikan penulis di penyidikan maupun persidangan kasus siber antara lain: Kasus Provokasi SARA Buni Yani, kasus pornografi Videotrone, kasus percakapan antara Habib Rizieq dan Firza Husein, kasus Habib Rizieq tentang Uang bergambar Palu Arit, kasus Munarman Penghinaan Pecalang Bali,  kasus peretasan situs presidensby.info, Kasus Kaesang atas laporan konten SARA, dll.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait