Koalisi Desak Presiden dan DPR Evaluasi Panglima TNI
Berita

Koalisi Desak Presiden dan DPR Evaluasi Panglima TNI

Dinilai tidak selaras amanat UU TNI dan UU Intelijen. Presiden diusulkan merotasi Panglima Tinggi TNI.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Koalisi Desak Presiden dan DPR Evaluasi Panglima TNI
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mengkritik pernyataan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, yang disampaikan beberapa waktu lalu dalam sebuah forum purnawirawan TNI. Melansir berbagai media, Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan dalam kesempatan itu Panglima TNI menyebut ada institusi negara yang memesan 5 ribu unit senjata api. Kemudian, menyatakan akan melakukan penyerbuan kepada Polisi jika institusi itu membeli senjata yang dapat menembak tank.

Menurut Al pernyataan itu tidak tepat dan bertentangan dengan amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Intelijen. Bagi Al data intelijen tersebut harusnya tidak disampaikan kepada publik tapi kepada Presiden sebagai pengguna akhir (end user). Menurutnya ini menunjukkan ada masalah dalam hal akurasi dan kerahasian intelijen. Padahal salah satu prinsip kerja intelijen yaitu cepat dan akurat (velox et exactus).

Pernyataan itu menurut Al berdimensi politik dan berpotensi menimbulkan keresahan dan gangguan keamanan. Apalagi soal penyerbuan terhadap Polri, Al menekankan tugas TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan otoritasnya ada di tangan Presiden.

Selain menyalahi kewenangan, Al mengatakan pernyataan tentang penyerbuan itu merupakan identifikasi ancaman negara yang salah. Kepolisian bukan obyek ancaman negara, jika ada persoalan penyelesaiannya menggunakan mekanisme politik dan hukum. “Presiden dan DPR perlu melakukan evaluasi terhadap Panglima TNI,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/9).

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menyebut pernyataan Panglima TNI soal penyerbuan kepada Polisi itu pelanggaran serius terhadap UU TNI. Yakni pasal 3 ayat (1), yang menjelaskan pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berada di bawah Presiden. Pasal 7 ayat (2) dan (3), intinya tugas pokok TNI dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Kemudian pasal 17 ayat (1) jo pasal 19 ayat (2) UU TNI, menyoal kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.

Hendardi mencatat sudah beberapa kali Panglima TNI mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Misalnya menyatakan BIN lemah (Oktober 2016), dan ketika kepolisian melakukan proses hukum terhadap sejumlah pelaku diduga makar, Panglima TNI menyebut tidak ada yang makar (Mei 2017). Menurutnya berbagai pernyataan itu tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai Panglima TNI.

Selain melakukan evaluasi, Hendardi, mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR untuk mengganti Panglima TNI. “Kami usul Panglima TNI diganti agar dia tidak lagi melakukan manuver politik untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Manajer Program Lesperssi, Beni Sukadis, mengatakan pernyataan Panglima TNI itu harus dilihat secara menyeluruh, karena setelah terbit UU TNI reformasi TNI mandek. Sampai saat ini belum ada peraturan yang secara teknis menempatkan TNI dalam kendali otoritas sipil. Akibatnya setiap Panglima TNI sering menganggap dirinya setingkat dengan Menteri Pertahanan. Hal ini yang menyebabkan jabatan tinggi di TNI itu dianggap bukan sebagai profesional tapi politis.

Selama belum ada peraturan yang tegas mengatur TNI berada di bawah otoritas sipil, Beni yakin Panglima TNI ke depan berpeluang menyampaikan pernyataan yang sifatnya politis. Pasal 3 ayat (2) UU TNI sangat jelas mengamanatkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Mengutip penjelasan pasal tersebut Beni mengatakan ke depan institusi TNI berada dalam Kementerian Pertahanan. “Hal itu tegas diperintahkan UU TNI,” urainya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengatakan informasi yang disampaikan Panglima TNI mengenai adanya institusi di luar TNI yang akan membeli 5 ribu pucuk senjata tidak ada hubungannya dengan eskalasi kondisi keamanan. Tapi hanya komunikasi antar institusi yang belum tuntas. Setelah melakukan konfirmasi kepada Panglima TNI, Kapolri dan Kepala BIN, serta instansi terkait, diketahui ada pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PINDAD oleh BIN untuk keperluan pendidikan intelijen.

“Pengadaan seperti ini izinnya bukan dari Mabes TNI tapi cukup dari Mabes Polri,” kata Wiranto sebagaimana dikutip dalam keterangan pers, Minggu (24/9).
Tags:

Berita Terkait