Pemerintah Diminta Tuntaskan Peraturan Pelaksana UU ASN
Berita

Pemerintah Diminta Tuntaskan Peraturan Pelaksana UU ASN

Dikritik rencana pembubaran DPR dan sesat pikir mengenai PPPK.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Pattiro, Maya Rostanty (tengah), dan peneliti Pattiro, Wawanuddin (kiri). Foto: EDWIN
Direktur Eksekutif Pattiro, Maya Rostanty (tengah), dan peneliti Pattiro, Wawanuddin (kiri). Foto: EDWIN
Salah satu RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2017 adalah revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Presiden Joko Widodo dikabarkan sudah menerbitkan surat presiden (supres) atas RUU ini, sehingga memungkinkan untuk dibahas. Namun hingga kini belum ada pembahasan intensif antara DPR dan Pemerintah atas RUU tersebut.

Di luar kompleks parlemen, pro kontra revisi UU ASN riuh rendah. Sejumlah anggota DPR menginginkan perubahan segera dilakukan. Sebaliknya, ada yang menilai perubahan itu terlalu cepat karena UU ASN baru saja dijalankan. Bahkan peraturan pelaksananya pun belum terbit semua.

Koalisi Reformasi Birokrasi termasuk kelompok masyarakat yang cenderung menentang revisi itu. Sikap Koalisi terbaca dari policy paper yang telah disampaikan ke banyak lembaga. Koalisi menginginkan agar Pemerintah fokus menyusun peraturan pelaksana yang diamanatkan UU ASN. “Daripada mengubah UU yang baru berjalan, lebih baik fokus menyusun peraturan pelaksanaannya,” kata Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Maya Rostanty, di Jakarta, Senin (25/9).

Pattiro hanya salah satu dari sejumlah lembaga yang terlibat dalam Koalisi Reformasi Birokrasi. Dijelaskan Tanti, begitu Maya Rostanty biasa disapa, ada dua isu penting yang menjadi perhatian Koalisi saat ini. Pertama, mengenai keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan kedua, salah pandang terhadap Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Terkait PPPK kami ajukan pelurusan dengan isu honorer,” kata Tanti kepada hukumonline.

(Baca juga: Pentingnya Komisi ASN di Mata KPK).

Seperti diketahui, beberapa anggota DPR mengusulkan revisi UU ASN. Salah satu yang disasar adalah pembubaran KASN. Kehadiran KASN dianggap menambah beban anggaran dan tak sejalan dengan keinginan Pemerintah merampingkan organisasi pemerintahan. KASN dinilai tidak efektif menjalankan tugas karena harus mengawasi seluruh Indonesia padahal Komisi ini hanya ada di Jakarta.

Koalisi menolak keinginan DPR. Mereka menganggap KASN masih diperlukan untuk memperbaiki tata kelola kepegawaian di Indonesia, terutama mengembangkan merit system dalam rekrutmen dan mutasi promosi ASN. “KASN masih dibutuhkan,” tegas Tanti.

(Baca juga: Pukat UGM Berharap KASN Tetap Dipertahankan).

Menurut Koalisi Reformasi Birokrasi, kehadiran KASN adalah upaya serius untuk meningkatkan kualitas aparatur sipil negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen PNS masih jauh dari penerapan sistem merit yang menghargai kompetensi birokrasi dan mengedepankan good governance. Nuansa kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan berbagai jabatan di birokrasi telah mewarnai pengelolaan pemerintahan di republik ini dalam waktu yang lama.

Kewenangan KASN sendiri seperti disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) UU ASN adalah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin perwujudan sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dank ode perilaku Aparatur Sipil Negara(ASN). Rinciannya tertuang dalam Pasal 32 UU ASN mulai dari pengawasan setiap tahapan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) hingga pemeriksaan laporan pelanggaran norma dasar, kode etik dank ode perilaku ASN.

Tanty menjelaskan kehadiran KASN sangat berbeda ditinjau dari peran strategisnya mewujudkan sistem merit dalam birokrasi di Indonesia. Jika kewenangan KASN disatukan dengan lembaga eksekutif yang ada baik itu KemenPAN RB, Badan Kepegawaian Negara, maupun Lembaga Administrasi Negara, maka sama saja dengan menarik mundur upaya reformasi birokrasi yang telah dibangun 3 tahun belakangan.

Policy paper Koalisi berisi rekomendasi jangka panjang dan jangka pendek. Dirinya mewakili Koalisi Reformasi Birokrasi menguraikan alasan-alasan keberatan atas naskah akademik dan RUU perubahan atas UU ASN yang diusulkan DPR dimana keberadaan KASN bahkan tidak lagi disebutkan dalam bagian Ketentuan Umum. Dituangkan dalam naskah akademik amandemen tersebut bahwa DPR menilai keberadaan tidak diperlukan karena tugas, fungsi, dan wewenangnya dapat dilaksanakan oleh KemenPAN RB.

KemennPAN RB sebagai lembaga yang diawasi menurutnya tidak tepat jika melakukan fungsi pengawasan untuk dirinya sendiri. KASN sejatinya bagian dari upaya checks and balances  dalam reformasi birokrasi agar fungsi pemerintahan dan pelayanan publik makin profesional, dan bebas dari intervensi politik praktis. Tanpa kehadiran KASN, pengawasan akan tumpul serta diwarnai konflik kepentingan.

Koalisi berpandangan UU ASN belum dilaksanakan secara efektif. Jika ditinjau dari delegasi UU ASN untuk pembentukan aturan pelaksanaannya, baru dua peraturan pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah(PP). Masih ada tujuh PP lainnya yang harus diterbitkan agar UU ASN dapat dilaksanakan efektif, namun ternyata hingga saat ini belum juga keluar.

Wawanudin, peneliti Pattiro, berharap Pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksanaan UU ASN. Jika dilihat dengan kenyataan ini, menurutnya usulan DPR periode 2015-2019 kali ini kehilangan relevansi karena belum bisa dilakukan evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan utuh dari UU ASN.
No. Materi Muatan Pasal Bentuk Peraturan Keterangan
1 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai ASN Pasal 92 ayat (4) dan Pasal 107

Peraturan Pemerintah PP No. 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai ASN
2 Manajemen Pegawai Negeri Sipil Pasal 17, Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 ayat (4), Pasal
57, Pasal 67, Pasal 68 ayat (7), Pasal 74, Pasal 78, Pasal 81, Pasal 85, Pasal 86 ayat (4), Pasal 89, Pasal 91
ayat (6), Pasal 92 ayat (4), dan Pasal 125
Peraturan Pemerintah PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
3 Manajemen PPPK Pasal 107 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
4 Penilaian Kinerja PNS Pasal 78 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
5 Gaji dan Tunjangan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
6 Disiplin PNS Pasal 86 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
7 Korps Pegawai ASN Pasal 126 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
8 Pensiun dan Tunjangan Hari Tua Pasal 91 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan
9 Badan Pertimbangan ASN Pasal 129 Peraturan Pemerintah Belum diterbitkan

Koalisi Reformasi Birokrasi juga menilai ada kesalahpahaman akan konsep PPPK yang dikenalkan dalam UU ASN. PPPK sendiri adalah nomenklatur baru yang diperkenalkan dalam UU ASN sebagai salah satu jenis ASN namun bukan non-PNS. Rupanya pemahaman yang berkembang adalah konsep ini merupakan jenjang untuk mengakomodasi tenaga honor yang dipekerjakan di berbagai instansi dengan skema kontrak untuk waktu tertentu.

Jika melihat Pasal 93-107 UU ASN, PPPK dimaksud bukanlah tentang tenaga honorer seperti yang dipraktekkan hingga sekarang. PPPK dalam UU ASN mengarah pada upaya akomodasi kalangan profesional di luar PNS yang karena keahlian dan kompetensinya dibutuhkan untuk menunjang reformasi birokrasi. Namun seringkali kalangan ini terhambat soal syarat administrasi semisal batas usia atau jenjang karir untuk berkontribusi sebagai PNS. Misalnya WNI yang ada di luar negeri, diaspora WNI di luar negeri, profesional yang telah lama berkarya di sektor swasta, atau tenaga kerja ahli lainnya padahal ada kebutuhan akan kompetensi mereka yang tidak mungkin dipenuhi sumber daya PNS yang ada dalam waktu cepat.

Pengangkatannya pun dengan mengacu proses yang sama dengan CPNS dalam hal pengusulan, uji kompetensi, penetapan formasi, dan kualifikasi seleksi yang jelas. Berbeda dengan tenaga honorer yang selama ini diangkat berbagai instansi tanpa mengacu kualifikasi yang dipersyaratkan.

Oleh karena itu, PPPK bukanlah nama pengganti untuk jenis tenaga honorer atau semacamnya apalagi tahapan otomatis yang akan diisi tenaga honorer yang sudah ada untuk menjadi PNS. PPPK ini pun memiliki penilaian kinerja yang sama dengan kriteria PNS. Konsep ini lazim dikenal di negara lain dengan sebutan berbeda seperti Non-Ongoing Employees (Australia), Contract Based Civil Servants (Korea Selatan), dan Angestellte (Jerman).

Akibatnya, dalam naskah akademis untuk usulan amandemen UU ASN malah DPR menyamakan PPPK sebagai tenaga honorer, tenaga kontrak atau sejenisnya. DPR menuntut agar PPPK disamakan mekanisme pengembangan karir, promosi, kenaikan pangkat, dan pensiun PPPK seperti PNS.
Tags:

Berita Terkait