Masalah Penulisan ‘Dkk’ dalam Sprindik Pun Dipersoalkan
Praperadilan:

Masalah Penulisan ‘Dkk’ dalam Sprindik Pun Dipersoalkan

Menurut pandangan ahli, kewenangan menghitung kerugian negara ada di tangan BPK. Tapi ada putusan MK.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto melawan KPK. Foto: RES
Salah satu sesi sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto melawan KPK. Foto: RES
Bolehkah surat perintah penyidikan mencantumkan nama seseorang lalu diikuti lema ‘dkk’ (dan kawan-kawan?). Pertanyaan ini menjadi salah satu poin yang dibahas dalam sidang praperadilan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka di PN Jakarta Selatan, Selasa (26/9) kemarin. Masalah itu ditanyakan kepada ahli hukum acara pidana Chairul Huda.

Kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) menyatakan suatu surat perintah penyidikan (sprindik) harus mencantumkan secara jelas siapa tersangka dalam tindak pidana yang disidik. Tak bisa begitu saja mencantumkan ‘dkk’ di belakang nama seseorang. Mencantumkan ‘dkk’ membuat siapa saja terseret tanpa ada kepastian hukum.

Chairul Huda berpendapat penyebutan dkk atau dan kawan-kawan dalam Sprindik hanya sekadar perbendaharaan kata semata. “Ini kan cuma ekonomi kata. Biasanya disebutkan beberapa orang, bukan baru dibikin nanti siapa. Tapi sudah ditentukan siapa orangnya. Begitu pula dalam dakwaan, atau BAP, atau sprindik. Sehingga pada dasarnya sebutan dkk hanya mempermudah saja. Seharusnya menjadi upaya mempersingkat semata,” jelasnya.

(Baca juga: Pengacara Setnov Ajukan LHP BPK Sebagai ‘Amunisi’ Praperadilan).

Keterangan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta itu menjadi salah satu bagian penting keterangan ahli yang disampaikan dalam sidang praperadilan tersebut. Dua ahli lain yang dihadirkan pengacara Setnov adalah Romli Atmasasmita dan I Gede Pantja Astawa.

Tim kuasa hukum Setnov memang mengajukan sejumlah pertanyaan kepada para ahli demi memperkuat argumentasi. Misalnya, tidak adanya nama Setnov disebut-sebut dalam putusan majelis hakim atas perkara dugaan korupsi e-KTP. Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan putusan atas nama terdakwa mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sugiharto. Dalam putusan perkara ini, nama Setnov tak disebut-sebut terlibat korupsi e-KTP.

Ditanya masalah itu, Romli Atmasasmita menegaskan belum membaca utusan dimaksud. “Saya belummembaca putusannya. Perlu dicari tahu alasannya kenapa, ada kemungkinan-kemungkinan, meskipun di dakwaan ada,  namun dalam perkara itu belum ditemukan bukti yang cukup,” tutur Romli.

Masalah lain yang menarik adalah perhitungan kerugian negara. KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka dalam perkara yang diduga merugikan negara triliunan rupiah. Yang dipakai KPK adalah perhitungan BPKP. Dalam hal ini, Romli berpendapat perhitungan kerugian negara harus sesuai persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Jelas,  kerugian keuangan negara itu BPK. Tapi tidak menutup kemungkinan lembaga lain tapi harus ada declear dari BPK. Pertanyaan saya apa BPK mau terima gitu saja tanpa periksa kembali?” pungkas Romli.

(Baca juga: Siapa Berwenang Menyatakan Kerugian Negara? SEMA Pun Tak Mengikat).

I Gede Panca Astawa juga berpendapat pihak yang berhak memastikan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK, bukan BPKP. BPK institusi yang punya kewenangan.  “Kewenangan BPK jelas disebut di UUD dan UU BPK. BPKP keberandaannya diatur PP. Kalau kita compare, dari segi instrumen hukum yang mengatur beda, BPKP diatur PP,  BPK diatur UUD dan UU. Kewenangan, nomenklatur beda,  satu pemeriksa satu pengawas,” jelas Panca.

Meskipun begitu, Panca mengakui ada putusan MK yang menegaskan bahwa dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain. Bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.

(Baca juga: Alasan KPK Banding Vonis 2 Terdakwa Korupsi e-KTP).

Pencegahan Setnov bepergian ke luar negeri juga menjadi bahan pertanyaan tim kuasa hukumnya. Mereka menganggap pencegahan itu wujud kesewenang-wenangan KPK tanpa melihat status Setnov sebagai Ketua DPR. Terhadap masalah ini, Pantja Astawa mengatakan pencegahan diajukan sesuai mekanisme yang diatur UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pencegahan, kata dosen Universitas Padjadjaran Bandung itu harus punya dasar yang kuat. Tapi apakah seseorang bisa dicegah? “Itu menurut saya diskresi,” pungkasnya.

Dalam persidangan, bukan hanya penetapan status tersangka yang dipersoalkan. Tim pengacara pemohon praperadilan juga mempersoalkan status penyidik KPK, dan status pengangkatan pegawai KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Romli berpendapat pemberhentian sementara sesuai Pasal 39 ayat (3) UU KPK perlu dilakukan agar para pegawai KPK yang berasal dari institusi lain bisa fokus menjalankan tugasnya di lembaga antirasuah. Selain itu pemberhentian sementara dilakukan agar tidak merugikan keuangan negara dalam arti pembayaran gaji yang berasal dari APBN hanya dilakukan satu instansi saja.

Guru Besar Hukum Pidana itu berpendapat asas lex specialis KPK hanya berlaku pada saat menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan Pasal 6 UU KPK. Dalam proses pengangkatan pegawai harus merujuk pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Di luar itu tetap bukan lex specialis, tidak di luar tugas dan wewenang KPK sesuai Pasal 6. Di luar itu seperti pengangkatan pengawai tetap tunduk pada UU ASN, termasuk syarat dan keahlian,” imbuhnya.
Tags:

Berita Terkait