Alasan RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Diubah dalam Prolegnas 2017
Berita

Alasan RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Diubah dalam Prolegnas 2017

Ada keberatan dari kalangan pengusaha atas RUU CSR itu. Terlebih, negara belum memiliki formula yang tepat perihal konsep CSR, sehingga aturan itu masih tersebar di beberapa peraturan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Belum dibahas secara komprehensif, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dicoret dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2017. Namun, judul RUU CSR itu diganti dengan RUU Praktik Pekerjaan Sosial. Keputusan itu diambil antara pemerintah dan DPR yang kemudian diputuskan dalam rapat paripurna.  

Dalam rapat paripurna pada 13 September lalu, DPR memberi persetujuan digantinya RUU CSR menjadi RUU Praktik Pekerjaan Sosial. Selain itu, RUU Prolegnas prioritas 2017 pun mengalami penambahan jumlah 3 RUU. Yakni RUU tentang Sumber Daya Air; RUU tentang Serah Simpan Karya Cetak, Karya Rekam, dan Karya Elektronik; dan Revisi UU No.4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.

Lantas, apa yang menjadi alasan pemerintah atau DPR perihal digantinya RUU tentang CSR menjadi RUU Praktik Pekerjaan Sosial? Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo mengatakan alasan digantinya RUU tentang CSR menjadi RUU tentang Praktik Pekerjaan Sosial berasal dari pemerintah. “Itu pemerintah memang tidak setuju dengan RUU CSR itu diundangkan,” ujarnya kepada Hukumonline.

Dikatakan Firman, pemerintah dalam rapat dengan Baleg beberapa pekan lalu mengutarakan ketidaksetujuannya atas RUU CSR itu. Pasalnya, CSR dipandang pemerintah cukup diatur dalam peraturan di bawah UU. Namun, Firman enggan menyebutkan jenis peraturan yang dimaksud. Sebab, hal tersebut menjadi ranah pemerintah dalam membuat peraturan di bawah UU. Baca Juga: Begini Kendala Pembahasan RUU Prolegnas 2017

Tanggung jawab sosial, menurut kata Firman, tidak menjadi hal yang permanen bagi perusahaan. Sebab, CSR dapat dilaksanakan sebuah perusahaan atau sebaliknya. Sepanjang perusahaan memiliki kemampuan memberikan CSR, maka dapat dilakukan perusahaan. Sebaliknya, ketika perusahaan belum mampu melaksanakan CSR, maka tidak dapat dibebankan tanggung jawab sosial kepada perusahaan. “Jadi itu alasannya,” kata dia.

Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengatakan naskah akademik RUU CSR memang menjadi usul inisiatif dari komisi tempatnya bernaung. Dia mengaku sempat menjadi anggota Panja RUU CSR meski akhirnya hengkang. Materi pembahasannya belum terlampau banyak. Dirinya sempat mengkiritik beberapa hal yakni tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi tidak memberatkan perusahaan. “Semestinya memang adanya pola penyeimbang,” kata dia.  

Dia melanjutkan ketika perusahaan membuat lembaga atau unit CSR tersendiri. Dengan RUU CSR, harapannya tanggung jawab sosial perusahaan dirasakan di luar perusahaan. Praktiknya, perusahaan yang memiliki unit CSR menyalurkan tanggung jawab sosial perusahaan tidak menyebar ke masyarakat secara merata.

“Kita menginginkan satu perusahaan, tapi CSR-nya bisa diakses dari luar, tidak disalurkan sendiri,” ujarnya. Baca Juga: Mengembalikan Makna Corporate Social Responsibility Ke ‘Khittah-nya’

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyayangkan aturan CSR bakal diatur dalam aturan di bawah UU. Maman mengakui ada keberatan dari kalangan pengusaha atas RUU CSR itu. Terlebih, negara belum memiliki formula yang tepat perihal konsep CSR yang menjadi instrumen tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat. Minimal terhadap masyarakat di sekitar perusahaan.

“Itu formulasinya belum ketemu. Kalau saya, kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan betul-betul dari awal menyentuh persoalan publik itu sendiri. Jadi tidak sekedar kewajiban. Saya minta dalam bentuk UU,” harapnya.

Sebagaimana diketahui, RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2017 dengan nomor urut 42. RUU tersebut menjadi hak usul inisiatif DPR, khususnya Komisi VIII. Keberadaan RUU tersebut memang sempat dibahas di Baleg untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi III.

Namun dalam perjalanannya, pemerintah justru keberatan dengan aturan CSR diatur dalam UU. Terlebih, banyak kalangan perusahaan yang menolak CSR diatur dalam UU. Allhasil, akibat ketidaksetujuan pemerintah itulah, RUU tersebut digantikan dengan RUU tentang Praktik Pekerjaan Sosial.

Selama ini, praktik penerapan tanggung jawab sosial perusahaan mengacu UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, UU Perseroan Terbatas belum lengkap mengatur tanggung jawab sosial perusahaan. Setidaknya, hanya satu pasal aturan tanggung jawab sosial dalam UU Perusahaan Terbatas, yakni Pasal 74 ayat (1-4). 
Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain itu, aturan turunan CSR diatur dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Pun diatur Pasal 15 huruf b UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (5) UU No.21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Tags:

Berita Terkait