Hukum Mengalihkan Barang yang Sudah Dibayar
Kolom

Hukum Mengalihkan Barang yang Sudah Dibayar

Banyak di kalangan penegak hukum yang berpikiran bahwa atas pembayaran yang dilakukan menimbulkan beralihnya hak milik, sehingga dapat dikenakan penggelapan jika barangnya tidak diserahkan, padahal tidaklah demikian.

Bacaan 2 Menit
D.Y. Witanto. Foto: Istimewa
D.Y. Witanto. Foto: Istimewa
Dalam sebuah perjanjian jual beli adakalanya prestasi masing-masing tidak ditunaikan secara seketika mengingat perjanjian pada umumnya bersifat obligatoir, yang artinya pada saat disepakati baru melahirkan hak dan kewajiban sedangkan hak milik baru akan beralih setelah ada penyerahan (levering) dari si penjual kepada si pembeli.

Sering muncul persoalan ketika si pembeli telah menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran, namun barangnya (misalnya jam tangan) akan diserahkan kemudian, akan tetapi sebelum jam tangan itu diserahkan ternyata si penjual menjualnya kembali kepada orang lain.

Apakah perbuatan tersebut berimplikasi pidana? artinya si penjual dapat di pidana karena penggelapan (vide Pasal 372 KUHP) atau penipuan (vide Pasal 378 KUHP)?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu membaca terlebih dahulu unsur yang ada dalam Pasal 372 KUHP, karena dapat tidaknya suatu perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana jika terpenuhi rumusan unsurnya. Pasal 372 berbunyi secara lengkap sebagai berikut “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 

Di antara rumusan tersebut terdapat unsur pokok yang harus dibuktikan agar suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai penggelapan yaitu unsur “yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”. Pengertiannya adalah jika barangnya bukan milik orang lain, baik seluruhnya atau sebagian, maka tidak mungkin dikatakan sebagai penggelapan.

Selanjutnya apakah barang yang sudah dibayar tapi masih dikuasai oleh si penjual itu sudah beralih kepemilikannya kepada si pembeli? Jawabannya ada pada Pasal 584 KUH Perdata yang berbunyi “Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu”.

Coba kita perhatikan frasa “hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain” itu menunjukan bahwa ---tidak boleh ada cara lain untuk mendapatkan hak milik selain dari apa yang diatur dalam ketentuan pasal 584 KUH Perdata---, di situ tidak satupun disebutkan bahwa “pembayaran” menjadi sebab timbulnya/beralihnya hak milik.  Selanjutnya kita perhatikan frasa “penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata” artinya hak milik dalam sebuah perjanjian perdata baru beralih setelah barang itu diserahkan, untuk barang bergerak penyerahan dilakukan secara langsung, sedangkan untuk barang tidak bergerak penyerahan dilakukan secara yuridis.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa meskipun suatu barang telah dibayar, jika belum terjadi penyerahan, maka belum ada kepemilikan si pembeli. Kesepakatan yang dibuat, baru melahirkan hak bagi si pembeli untuk menagih penyerahan barang yang dibelinya dan jika ternyata si penjual tidak mampu menyerahkan barangnya sampai waktu yang dijanjikan karena telah dijual lagi kepada pihak lain, maka si pembeli pertama dapat menuntut pembatalan perjanjian sekaligus meminta pembayaran ganti rugi atau menuntut pembatalan perjanjian si penjual dengan pihak ketiga melalui lembaga actio pauliana.

Banyak di kalangan penegak hukum yang berpikiran bahwa atas pembayaran yang dilakukan menimbulkan beralihnya hak milik, sehingga dapat dikenakan penggelapan jika barangnya tidak diserahkan, padahal tidaklah demikian. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata suatu pembayaran hanya menghapuskan perikatannya, tapi sama sekali tidak mengalihkan hak miliknya, dan perlu diingat bahwa pembayaran dalam pengertian hukum tidak semata-mata sebagai bentuk penyerahan uang, namun termasuk setiap pelaksanaan prestasi. Jika dalam perjanjian jual beli bentuk prestasinya adalah penyerahan uang dan penyerahan barang, maka menyerahkan barang juga adalah bentuk pembayaran.

Coba kita balik logika berpikirnya dengan sebuah contoh. Jika dalam sebuah perjanjian jual beli yang objeknya jam tangan, penyerahan jam tangan dilakukan lebih dulu sedangkan penyerahan uang akan dilakukan keesokan harinya. Apakah setelah jam tangan diserahkan itu berarti uang yang ada dalam dompet si pembeli seharga jam tangan kemudian menjadi milik si penjual? Selanjutnya jika uang yang ada di dompet si pembeli digunakan untuk keperluan yang lain, apakah si pembeli dapat dikatakan penggelapan?

Tentu tidak seperti itu karena sebelum uang itu diserahkan masih mutlak milik si pembeli. Lalu apakah bisa dikatakan penipuan karena telah melakukan kebohongan atas alasan patut diduga si penjual sebenarnya telah berniat dalam hatinya untuk menjual ke orang lain pada saat bersepakat dengan si pembeli?

Perlu digarisbawahi bahwa dalam dimensi hukum tidak ada cara untuk memperkirakan sebuah niat orang lain selain dari apa yang nampak secara nyata.Sehingga untuk menentukan kebohongan seseorang hanya bisa dilakukan dengan cara membandingkan pada suatu fakta yang kongkrit.

Misalnya “si fulan mengatakan bahwa dirinya mahasiwa padahal faktanya si fulan bukan mahasiswa”. Hukum tidak mungkin menyatakan seseorang telah berbohong dengan ukuran niat dalam hatinya, misalnya “si fulan mengatakan bahwa lukisannya bagus, padahal dalam hatinya ia mengatakan jelek” karena tidak ada satupun manusia yang mampu untuk mengetahui apa isi hati seseorang.

Lalu bagaimana perlindungan hukum bagi seorang pembeli jika barang yang sudah dibayarnya ternyata dialihkan kepada orang lain. Si pembeli dapat menuntut actio pauliana sebagaimana diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata atau menuntut pembatalan perjanjian dengan si penjual sekaligus meminta ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1244 KUH Perdata.

Namun perbuatan tersebut bukanlah penggelapan maupun penipuan karena unsur “seluruh atau sebagain milik orang lain” dalam Pasal 372 dan unsur “tipu muslihat/serangkaian kebohongan” dalam pasal 378 KUHP  tidak terpenuhi. Jika salah satu unsur pokok tidak terpenuhi, maka tidak mungkin seseorang dinyatakan telah melakukan tindak pidana, baginya hanya dapat dituntut atas dasar melakukan wanprestasi.

Tulisan diatas merupakan pendapat pribadi yang masih sangat terbuka untuk adanya pendapat yang berbeda. Semoga kedepannya tidak ada lagi orang yang dipenjara karena telah melakukan wanprestasi.

*) D.Y. Witanto adalah Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA.

Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait