Tersedia Waktu 60 Hari, KY Masih Kaji Hasil Pemantauan Sidang Praperadilan
Berita

Tersedia Waktu 60 Hari, KY Masih Kaji Hasil Pemantauan Sidang Praperadilan

Penetapan tersangka seharusnya tidak di awal penyidikan.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Yudisial. Foto: HOL
Gedung Komisi Yudisial. Foto: HOL
Semua pemangku kepentingan sebaiknya menghormati apapun putusan hakim tunggal Cepi Iskandar terhadap permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Penghormatan itu tak mengurangi hak para pihak menempuh upaya hukum, seperti kemungkinan KPK menetapkan status tersangka lagi.

Komisi Yudisial juga mengaku tak akan buru-buru mengambil sikap. Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi, menjelaskan kepada Hukumonline, ada waktu 60 hari bagi tim KY untuk memproses pengaduan hingga dicapainya kesimpulan. Waktu 60 hari itu akan dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Saat ini, kata Farid, tim pemantau KY masih fokus untuk melakukan hasil kajian atas pemantauan selama sidang praperadilan Setya Novanto berlangsung di PN Jakarta Selatan. Sidangnya berakhir Jum’at pekan lalu setelah hakim Cepi Iskandar menyatakan penetapan tersangka Ketua Umum Partai Golkar itu tidak sah. “Saat ini tim pemantau fokus untuk kaji hasil pantauan persidangan,” kata Farid, Senin (2/10).

Farid menjelaskan pengawalan dalam kasus ini secara garis besar dilakukan melalui dua metode, yaitu terbuka dan tertutup. KY hanya fokus pada etika hakim dalam mengelola perkara ini baik perilaku pada saat persidangan maupun diluar persidangan. “Sampai saat ini belum ada asumsi atau simpulan apapun karena KY ketika memeriksa laporan atau informasi harus cermat dan terukur,” jelasnya.

(Baca juga: Pertimbangan Putusan Praperadilan Setya Novanto Dinilai Cacat Hukum).

Meskipun sejumlah pihak menganggap putusan praperadilan itu dianggap mengandung kelemahan, KY tidak akan terpengaruh. Farid menegaskan KY tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan karena harus melakukan kajian yang lebih mendalam, apalagi perkara ini juga menjadi perhatian masyarakat luas.

Sejumlah lembaga pemerhati peradilan memang menilai ada kelemahan putusan itu. Lalola Easter misalnya mencatat setidaknya ada enam kejanggalan proses persidangan. Pertama, hakim menolak memutar rekaman bukti dugaan keterlibatan pemohon dalam kasus e-KTP. Kedua hakim menunda untuk mendengar keterangan ahli dari KPK. Ketiga, hakim menolak eksepsi KPK. Keempat, hakim diduga mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan belum terdaftar dalam sistem. Kelima,  hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat ad hoc lembaga KPK. Keenam, kuasa hukum Novanto menjadikan Laporan Kinerja KPK pada 2016 sebagai bukti di persidangan, padahal laporan tersebut tidak didapatkan langsung dari BPK.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting berpendapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 memang menyatakan jika putusan praperadilan tidak bisa dilakukan langkah hukum lain artinya putusan itu berkekuatan hukum tetap. Tetapi dalam aturan yang sama memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan. Begitu juga KY yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim.

Miko mengingatkan bahwa pemeriksaan praperadilan hanya mengenai penetapan tersangka, dan sama sekali tak menilai pokok perkara. Oleh karena itu ia berpendapat KPK masih dimungkinkan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk selanjutnya menetapkan status tersangka. “Peluang bagi KPK untuk menetapkan kembali SN sebagai tersangka masih sangat terbuka,” ujarnya.

Miko menunjuk Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA No. 4 Tahun 2016. Sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan SN sebagai tersangka. “Apabila KPK menetapkan SN kembali sebagai tersangka, seharusnya KPK segera merampungkan pemeriksaan dan melimpahkan perkara tersebut untuk segera disidangkan,” pungkas Miko.

Senada, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan putusan praperadilan itu tak menggugurkan kewenangan KPK, sebagaimana juga terungkap dari keterangan ahli yang dihadirkan KPK di persidangan.

(Baca juga: Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto)

Hakim dalam pertimbangannya menyatakan penetapan tersangka seseorang dilakukan bukan di awal penyidikan. Erasmus mengingatkan seharusnya hakim lebih jeli melihat proses yang telah dilakukan KPK sebelum menetapkan pemohon praperadilan sebagai tersangka.
Tags:

Berita Terkait