Kalangan Pengusaha Keberatan Wacana Pembentukan Lembaga Perpajakan
Revisi UU KUP:

Kalangan Pengusaha Keberatan Wacana Pembentukan Lembaga Perpajakan

Ketentuan sanksi pidana dan pengumuman penunggak pajak menjadi hal sensitif bagi kalangan pengusaha.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kalangan Pengusaha Keberatan Wacana Pembentukan Lembaga Perpajakan
Hukumonline
Kalangan pengusaha sebagai pemangku kepentingan sektor perpajakan mulai dimintakan pendapat dan masukannya terkait rumusan revisi Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Salah satu yang menjadi sorotan kalangan pengusaha yakni wacana pembentukan lembaga baru yang bertugas mengelola perpajakan.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Raden Pardede mengusulkan pembentukan lembaga baru pengelola perpajakan tetap berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, bila lembaga tersebut terbentuk, dapat berkoordinasi langsung dengan direktorat yang berada di bawah naungan Kemenkeu.

“Menurut kami keberadaan lembaga ini tetap di bawah Kemenkeu agar kredibel,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI di Gedung DPR, Kamis (5/10/2017).

Ia menilai koordinasi lembaga baru dengan direktorat yang ada Kemenkeu agar kerja-kerja pengumpulan pajak dari masyarakat dapat menjadi lebih efektif. Karena itu, keberadaan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak perlu diperbaiki dari sisi sumber daya manusia dan informasi teknologi (IT) terutama dalam pengolahan data wajib pajak termasuk pengaturan pemberian kompensasi bagi petugas pajak.

“Pembentukan lembaga (baru) sejatinya mesti dibarengi pengaturan kompensasi bagi petugas pajak yang berprestasi. Tujuannya, supaya lembaga baru itu tetap menjadi lembaga yang memiliki otoritas dalam pengelolaan perpajakan dan keberadaanya tetap di bawah Kemenkeu.” Baca Juga: Penuhi Syarat Automatic Exchange of Information Lewat Revisi KUP

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita menilai pembantu presiden fokus di sektor perpajakan mestinya tetap ditangani Ditjen Perpajakan Kemenkeu. “Apindo mengusulkan agar pengumpulan pajak dari masyarakat tetap diberikan otoritas ke Ditjen Pajak, tidak dengan lembaga baru. Kalau ada badan lagi, maka presiden akan kerepotan,” ujarnya

Apindo menyoroti kualitas sumber daya manusia di Ditjen Pajak Kemenkeu yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Sebab, pemeriksaan perpajakan sering multitafsir di tingkat bawah, ujungnya membuat kalangan pengusaha bingung. “Banyak sumber daya manusia yang tidak kompeten, sehingga ada bermasalah ketika dibawa ke pengadilan, meskipun putusan pengadilan 90 persen dimenangkan pengusaha,” ujarnya.

Menurut Suryadi, IT merupakan kunci dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak. Ia yakin ketika IT yang dimiliki Ditjen Pajak maksimal kualitasnya, maka tak ada wajib pajak yang dapat melarikan diri dari kewajibannya membayar pajak. “Sementara ini kita concern di IT diberesin, sumber daya manusia dibereskan, sehingga kalau IT-nya baik maka peningkatan pajak akan naik. Perlunya intensif bagi petugas pajak,” ujarnya.

Anggota Komisi XI DPR Eva Kusuma Sundari menilai adanya lembaga baru dalam RUU KUP, seolah organisasi pengusaha seolah resisten. Padahal, salah satu fokus dalam RUU KUP adalah pembentukan lembaga baru yang diberikan otoritas dalam menarik dan mengumpulkan pajak dari masyarakat. “Soal lembaga, kenapa pengusaha resisten dengan isu lembaga. Kita punya argumen untuk kelembagaan baru ini. Padahal, core keistimewaan RUU ini adalah kelembagaan,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Pasal pidana
Dalam RUU KUP juga mengatur ketentuan pemidanaan terhadap wajib pajak yang “bandel”. Menurutnya, ketentuan tindak pidana perpajakan mengatur sanksi pidana dan denda. Misalnya, terhadap wajib pajak yang belum membayar kewajibannya dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda. “Kalau sudah bayar, wajib pajak bebas,” ujar Raden Pardede.

Kadin, kata Raden, mengusulkan pengaturan sanksi pidana disamakan dengan petugas pajak yang bertindak sewenang-wenang. Pasalnya, aturan sanksi pidana terhadap petugas pajak belum diatur dalam RUU KUP. Ia beranggapan terhadap petugas pajak yang melakukan kesalahan seharusnya bisa dipidana. “Jadi simetris, bukan hanya wajib pajak (yang bisa dipidana). Ini penting untuk peningkatkan kredibilitas dan dunia usaha,” katanya.

Suryadi Sasmita punya pandangan senada. Menurutnya, banyak pasal yang mengatur ketentuan pidana, seperti Pasal 107 hingga 110. Ia mencontohkan kesalahan mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak saja dapat dikenakan sanksi pidana. Akibatnya, banyak pengusaha yang khawatir dengan ketentuan pasal tersebut jika diterapkan dalam dunia usaha. Baca Juga: Peta Jalan Perpajakan Harus Jelas

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bidang Tax Center Ajib Hamdani mengatakan sanksi pidana bagi kalangan dunia usaha menjadi hal sensitif. Padahal pengusaha berkontribusi dalam pembangunan bangsa melalui pajaknya. Ia mengusulkan Pasal 107 huruf c, sanksi berupa diturunkan menjadi pidana empat tahun atau denda. Sebab dalam draf, kata Ajib, sanksi pidana selama enam tahun dan/atau denda.

Begitu pula pengaturan sanksi pidana dalam Pasal 108 dengan pidana enam tahun diubah menjadi empat tahun. Hipmi pun mengusulkan terhadap wajib pajak yang sudah membayar pajak dan denda, maka pidananya pun dihapuskan. “Hipmi mengusulkan pidana maksimal paling lama empat tahun dan denda paling banyak empat kali lipat,” kata dia.

Anggota Komisi XI Kardaya Warnika menilai soal pemidanaan dan denda tidak semuanya dapat diterapkan. Menurutnya, sanksi terhadap wajib pajak yang ‘bandel’ hanya satu sanksi yang dikenakan. Namun, frasa “dan/atau” dapat diartikan sanksi pidana dan denda dapat diterapkan sekaligus atau salah satu saja.  

Kardaya menilai masukan dan pendapat dari kalangan organsiasi pengusaha Kadin, Apindo dan Hipmi diharapkan lebih baik lagi. Sebab, RUU KUP ketika diundangkan berlaku pula terhadap kalangan pengusaha. “Masukannya harus lebih tajam. Kalau bisa Kadin, Apindo dan Hipmi membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di luar fraksi partai,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Pengumuman penunggak pajak
Terkait aturan pengumuman terhadap penunggak pajak, ketidakbenaran dalam memberi data, ataupun kesalahan administrasi, ke publik mendapat kritik dari Kadin. Menurutnya, pengumuman ke publik terhadap nama wajib pajak yang diduga melakukan pelanggaran mestinya tidak diatur dalam RUU. Hanya saja, pengumuman dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

“Jangan baru ada dugaan, kemudian diumumkan ke publik. Sementara belum ada putusan final,” kata Raden Pardede. Baca Juga: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah Perbankan dalam 14 Hari

Begitu pula wajib pajak yang membayar kewajibannya dalam jumlah besar tak perlu pula diumumkan ke publik. Menurutnya, identitas wajib pajak tak perlu diumumkan ke publik akibat kewajibannya dalam jumlah besar. “Jadi hanya menjadi data privat, bukan public karena akan menjadi isu. Jadi keep saja tidak perlu diumumkan, cukup menjadi data privat,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait