Menelusuri Jejak Kantor Advokat Modern Generasi Pertama
Lipsus: Sejarah Kantor Advokat Indonesia

Menelusuri Jejak Kantor Advokat Modern Generasi Pertama

Investor asing yang berdatangan sejak terbitnya UU Penanaman Modal Asing mulai menggeliatkan praktik hukum di kalangan advokat.

Oleh:
M. Agus Yozami/Tim HOL
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: HGW
Ilustrasi foto: HGW
Lahirnya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing seakan mengawali era globalisasi di Indonesia. Sejak saat itu, secara nyata Indonesia merasakan kehidupan ekonomi yang terbuka. Banyak investor asing yang datang menawarkan peluang tanpa mengenal batasan teritorial negara.  

Investor asing yang datang di masa-masa awal globalisasi di Indonesia itu, tak hanya membawa modal melainkan juga membawa advokat untuk mendampingi. Aktivitas ekonomi para investor yang berinvestasi dan berdagang di berbagai bidang itu membutuhkan pelayanan jasa hukum dari para advokat asing yang mereka bawa serta. Layanan jasa hukum para advokat itu diperlukan untuk mengawal dan mengamankan berbagai macam transaksi, terutama transaksi bisnis dan perdagangan pada umumnya.

Bukan itu saja, para investor yang ramai bertransaksi di Indonesia itu memerlukan jasa hukum advokat, terutama ketika mereka harus membuat kontrak atau saat mereka menghadapi persoalan hukum. Bisa dibilang, para advokat lah yang membantu ketika investor menghadapi berbagai persoalan hukum yang muncul terkait dengan aktivitas penanaman modal mereka.

Penggalan sejarah mengenai perkembangan kantor advokat di Indonesia tertulis dalam buku “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia terbitan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (2001) yang ditulis Binziad Kadafi dkk. Sebagian besar informasi dalam buku tersebut mengacu pada buku Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik di Indonesia”. 

Kantor hukum menurut buku tersebut, mulai didirikan oleh para Advokat Indonesia yang umumnya merupakan sarjana hukum jebolan sekolah hukum di Belanda pada sekitar 1940-an. Sebelum perang dunia kedua, bahkan sudah ada beberapa advokat Indonesia yang berpraktik lebih dulu seperti Besar Mertokusumo atau M. Yamin.

Para sarjana hukum tersebut memang dibentuk oleh pemerintah kolonial untuk menjadi ahli hukum modern, namun perkembangan profesi hukum saat itu relatif dibatasi. Sebagian besar sarjana hukum tersebut, yang mayoritas berasal dari kalangan priyayi, memilih untuk bekerja di lembaga pemerintahan (sebagai ambtenaar), termasuk pengadilan, yang dinilai lebih terhormat.

Hanya sedikit di antaranya yang benar-benar menjalankan praktik hukum swasta lewat kantor hukum. Akibatnya, profesional hukum saat itu didominasi oleh advokat berkewarganegaraan Belanda atau warga Timur Asing untuk melayani masyarakat Eropa yang aktif di bidang perniagaan. Advokat Indonesia sendiri lebih banyak menangani sengketa perburuhan antara para buruh dengan perusahaan/majikan Belanda, atau perkara politis antara warga pribumi dengan pemerintah kolonial. Sebagian dari mereka yang membuka kantor hukum tersebut pun, pada akhirnya terjun ke pemerintahan.

Setelah Pemerintah Republik Indonesia secara permanen berkedudukan di Jakarta, semakin banyak kantor hukum yang didirikan advokat Indonesia. Sementara kantor advokat Belanda makin mundur dan berhenti sama sekali. Kantor-kantor hukum Indonesia tersebut berkembang dengan struktur internal yang semakin mapan.

Beberapa dokumen mencatat bahwa pada masa itu sebuah kantor hukum yang ada di kota besar, setidaknya terdiri dari dua orang yang berkualifikasi sebagai advokat, dibantu oleh setidaknya dua orang asisten. Dan jika dibandingkan dari pola praktik pokrol bambu yang saat itu masih marak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, kantor hukum advokat Indonesia telah mengusung berbagai karakteristik permulaan sebagai kantor hukum modern.

(Baca Juga: Penerapan Standar Mutu dan Tantangan bagi Firma Hukum)

ABNR, ABNA, dan MKK
Kali ini, kami (Redaksi Hukumonline) berkeinginan menyajikan liputan khusus mengenai sejarah kantor-kantor advokat di Indonesia. Referensi yang kami dapat mungkin masih kurang untuk mengetahui bagaimana sejarah kantor-kantor advokat di Indonesia berdiri. Untuk itu, kami berusaha melengkapi dengan wawancara terhadap pihak-pihak terkait.

Salah satu referensi yang sangat membantu kami memulai riset topik ini adalah esai dari Ahmad Fikri Assegaf yang berjudul “Besar Itu Perlu: Perkembangan Kantor Advokat di Indonesia dan Tantangannya”. Esai ini dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Pasar Modal volume VII/Edisi 10 Juli-Desember 2015 yang diterbitkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).  

Dalam esai tersebut, Fikri menyebutkan ada tiga kantor advokat yang menjadi generasi pertama kantor advokat modern di Indonesia. Ketiga kantor advokat di generasi pertama itu adalah Kantor Advokat Ali Budiarjo Nugroho Reksodiputro (ABNR) yang berdiri pada tahun 1967, Kantor Advokat Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA) yang berdiri tahun 1969, dan Kantor Advokat Mochtar, Karuwin, Komar (MKK) yang berdiri tahun 1971.

Kehadiran mereka bersamaan dengan masuknya investasi asing pasca terbitnya UU Penanaman Modal Asing. Kantor Advokat ABNR, misalnya, membawa Freeport ke Indonesia tahun 1967 sebagai klien pertama. Salah satu Partner ABNR, Ali Budiardjo bahkan diangkat menjadi Presiden Direktur Freeport tahun 1974. Praktik yang dilakukan ABNR saat itu mengubah standar praktik hukum, yakni praktik non-litigasi (corporate law firm).

Selang dua tahun setelah ABNR, kantor Adnan Buyung Nasution Associates (ABNA) lahir tahun 1967. Menariknya, dari ABNA muncul cikal bakal berdirinya kantor advokat modern generasi kedua. Kantor advokat MKK yang lahir tahun 1971 juga ‘membidani’ lahirnya kantor advokat generasi kedua.

Salah satu hal yang layak diapresiasi oleh para praktisi hukum di Indonesia atas peninggalan para perintis praktik hukum modern tersebut adalah kerjasama antar advokat sebagai mitra amatlah penting dalam menciptakan kantor yang baik. Begitu kuatnya fondasi ini membuat MKK dan ABNR terus hadir sebagai kantor advokat yang memiliki peran penting dalam praktik hukum di Tanah Air.

Umumnya, praktik advokat modern memang berbentuk firma atau persekutuan perdata. Itulah, mengapa disebut firma hukum atau law firm. Selain itu, pengelolaan organisasinya pun menggunakan prinsip-prinsip administrasi modern. Misalnya, advokat yang berpraktik dalam satu kantor hukum bermitra dengan lebih dari satu partner. Hal ini berbeda dengan praktik advokat tradisional yang hanya berpraktik seorang diri. Sebut saja Mr. Besar Mertokoesomo yang disebut-sebut sebagai salah satu advokat pribumi pertama yang membuka kantor hukum di Indonesia, berpraktik tanpa partner.

Dalam sistem yang dijalankan oleh law firm modern, masing-masing partner kemudian dibantu oleh beberapa associate. Istilah associate dikenal pula oleh law firm tradisional. Bedanya, jumlah associate di law firm modern proporsional dengan bobot kerja yang dilakoni para partner. Sehingga, satu partner di law firm modern dibantu oleh setidaknya lima orang associate. Sedangkan associate yang menopang kerja kantor hukum tradisional cenderung sangat sedikit jumlahnya.

(Baca Juga: 3 Tantangan Utama Advokat dalam Menjalankan Kantor Hukum)

Selain itu, law firm modern bersifat terbuka dalam hal kerja sama dengan pihak asing. Tak heran, banyak law firm modern yang memberikan jasa hukum bagi investor asing. Bahkan, banyak pula law firm yang mempekerjakan advokat asing ataupun berafiliasi dengan kantor hukum asing. Hal ini dapat kita lihat dari sejarah ABNR dan MKK.

Pada 1981, ABNR telah merekrut pengacara asing. Mereka adalah Gregory Churchill dan Victor P.G De Seriere lalu diikuti Theodoor Bakker. Mereka cukup berperan signifikan, seperti Gregory misalnya membantu Pusat Dokumentasi Hukum UI mengembangkan katalog atau dokumen hukum.

Sedangkan MKK dalam sejarah pendiriannya tercatat, seorang advokat asal Amerika Serikat yang merupakan teman Mochtar Kusumaatmadja saat menempuh pendidikan di Harvard, Charles Kirkwood, mengajaknya untuk membuka law firm bersama. Kirkwood adalah seorang partner di law firm Amerika Serikat yaitu Kirkwood, Kaplan, Russin & Vecchi yang juga memiliki kantor di Bangkok.     

Referensi lain yang terkait dengan topik ini adalah buku “Pergulatan Tanpa Henti - Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto” karya Adnan Buyung Nasution yang diterbitkan Aksara Karunia, “Indonesia Law And Society” yang disunting Tim Lindsey, “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi – Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia” yang ditulis Binziad Kadafi, dkk. yang diterbitkan PSHK.

Buku lainnya adalah “Arus Pemikiran Konstitusionalisme Advokat” karya Adnan Buyung Nasution terbitan Kata Hasta Pustaka, “Arus Pemikiran Konstitusionalisme - Hukum & Peradilan” karya Adnan Buyung Nasution, “Pahit Getir Merintis Demokrasi” karya Adnan Buyung Nasution yang diterbitkan Aksara Karunia, “Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-Atmadja” karya Nina Pane, “Mochtar Kusuma-Atmaja dan Teori Hukum Pembangunan” karya Sidharta,dkk.

Kami berharap tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan mengenai sejarah dan perkembangan kantor advokat di Indonesia yang saat ini jumlahnya masih terbilang sangat minim. Karena banyak hal menarik dan bermanfaat yang bisa diketahui oleh mereka yang bergelut di dunia advokat.

Manfaatnya antara lain kita dapat mengetahui bagaimana kiat dan strategi mereka dalam mengelola kantor hukumnya hingga bisa eksis sampai puluhan tahun, bahkan makin berkibar sampai sekarang. Kita juga bisa tahu bagaimana strategi mereka dalam menghadapi konflik internal maupun eksternal yang terjadi di masanya. Kekurangan dalam liputan khusus ini pasti ada. Tapi kami berharap liputan khusus ini kiranya dapat memperkaya referensi dan pengetahuan bagi masyarakat, khususnya mereka yang terjun di dunia hukum.

Selamat membaca!
Tags:

Berita Terkait