Pembahasan RUU PPMI Menuju Tahap Penyelesaian
Berita

Pembahasan RUU PPMI Menuju Tahap Penyelesaian

Masih ada 8 pasal yang dibahas tim sinkronisasi.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: HOL
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: HOL
Pemerintah dan DPR masih membahas RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Ketua Komisi IX sekaligus pimpinan Panja RUU PPMI, Dede Yusuf, mengatakan RUU pengganti UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) itu sudah selesai dibahas di tingkat tim perumusan dan tim sinkronisasi (timus dan timsin).

Namun, ia mengakui masih ada sekitar 8 pasal yang tidak bisa ditangani tim tersebut karena harus dibahas dan disepakati antara panja dan pemerintah. Antara lain pasal tentang sanksi dan peran pemerintah daerah.

Dijelaskan Dede, setelah pembahasan itu selesai, kemudian akan dibawa dalam rapat kerja antara Panja dengan Menteri terkait. “Jadi sekarang proses pembahasan (RUU PPMI,-red) sudah masuk tahap finalisasi, tahap akhir penyelesaian,” katanya di Jakarta, Senin (09/10).

(Baca juga: 7 Isu RUU PPILN yang Disepakati Pemerintah-DPR).

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardani, mengatakan mengatakan organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu buruh migran terus mengawal proses pembahasan RUU PPMI sampai akhir. Dia mencatat saat ini timus dan timsin sudah selesai, tapi ada pasal yang harus dibahas lebih lanjut oleh Panja dan pemerintah.

Perdebatan tentang sanksi itu, kata Savitri, menyinggung bentuk sanksi apakah pidana dan denda atau salah satunya. Organisasi masyarakat sipil mengusulkan sanksi itu harus ada batasan dan minimum. Misalnya, sanksi yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang cukup berat. Tapi di Pasal 18 sanksi pidana itu tidak dijatuhkan kepada korban yang melakukan pidana karena dipaksa. “Buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang tidak dianggap sebagai pelaku tindak pidana,” ujarnya.

Beberapa pasal yang akan dibahas di panja mengenai vokasi, dan kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan penempatan. Savitri melihat dalam draft evaluasi itu dilakukan oleh pemerintah provinsi. Berikutnya, mengenai batas waktu pelaksanaan peraturan turunan yang akan diterbitkan pemerintah, DPR ingin 1 tahun tapi pemerintah meminta 2 tahun.

Selain itu Savitri punya catatan yang perlu dicermati pemerintah dan DPR dalam RUU PPMI yakni soal program jaminan sosial untuk buruh migran yang saat ini diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Savitri menyebut buruh migran tidak keberatan dengan hal tersebut namun manfaat yang diterima harus lebih besar daripada yang ada sekarang. Savitri mencatat manfaat saat ini hanya ada 6, mestinya manfaat yang diberikan minimal 13 atau sama seperti asuransi bagi buruh migran yang sebelumnya dikelola oleh konsorsium. Mekanisme klaim juga harus mudah dimengerti oleh buruh migran.

Savitri mengusulkan agar buruh migran diikutsertakan dalam program jaminan sosial di negara penempatan. Pemerintah bisa melakukan itu melalui kerjasama dengan negara penempatan, apalagi jaminan sosial yang ada di Indonesia mewajibkan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia minmal 6 bulan wajib menjadi peserta.

Sekjen SBMI, Bobbi Anwar Maarif, mengusulkan pemerintah dan DPR untuk membuat ketentuan yang mampu menjamin perjanjian kerja yang diteken buruh migran berlaku di Indonesia dan di negara penempatan. Selama ini, buruh migran menandatangani dua perjanjian kerja yang isinya berbeda, masing-masing berlaku di Indonesia dan di negara penempatan. Padahal buruh migran harusnya menandatangani satu perjanjian kerja dan berlaku bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara tujuan. “Dalam draft RUU PPMI belum ada ketentuan yang memastikan perjanjian kerja itu berlaku di kedua negara,” urainya.

Jika ketentuan itu tidak ada, kata Bobbi, yang dirugikan pasti buruh migran. Perjanjian kerja yang ditandatangani di Indonesia itu tidak berlaku di negara penempatan sehingga buruh migran kesulitan mendapat haknya ketika terjadi sengketa. Kemudian, harus ada jaminan perjanjian kerja itu dipegang oleh masing-masing pihak. Selama ini buruh migran tidak pernah memegang perjanjian kerja itu dengan alasan rahasia. Padahal dokumen itu penting untuk melihat apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak.

(Baca juga: Komisi PBB Perlu Tagih Komitmen Pemerintah Indonesia Soal Perlindungan Buruh Migran).

Bobbi berharap RUU PPMI mengatur standar perjanjian kerja buruh migran yang berlaku di dalam negeri dan negara tujuan. Standar minimal harus sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Beleid itu mengatur sedikitnya 27 hak buruh migran, yang utama untuk dimasukan dalam RUU PPMI diantaranya soal kondisi kerja sesuai perjanjian kerja. Lalu, upah mengikuti standar yang disepakati kedua negara, hak lembur atau kompensasi. Hak berkomunikasi dan mendapat hari libur.
Tags:

Berita Terkait