Aksesibilitas Difabel dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Kolom

Aksesibilitas Difabel dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Penting bagi penyusun kebijakan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi terhadap difabel di sistem peradilan pidana Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Dio Ashar Wicaksana. Foto: Istimewa
Dio Ashar Wicaksana. Foto: Istimewa
Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan perubahan fundamental dengan merekonstruksi istilah penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas. Perubahan ini dinilai fundamental untuk merekonstruksi perspektif masyarakat terhadap penyandang disabilitas dengan tidak lagi memandang sebagai orang yang memiliki kekurangan fisik ataupun mental. Meskipun, para kalangan aktivis Indonesia lebih memilih untuk menggunakan istilah difabel dibandingkan dengan penyandang disabilitas.

UU tersebut juga berhasil memasukan perspektif hak asasi manusia bagi difabel agar mendapatkan aksesibilitas yang setara dengan yang lainnya. Kemudian, salah satu amanat dari UU tersebut, adalah mengimplementasikan pengaturan yang ada di UU tersebut ke dalam peraturan pelaksanaan dalam kurun waktu 2 tahun semenjak UU tersebut diundangkan.

Jika mengacu tanggal diundangkannya peraturan tersebut, berarti peraturan pelaksana tersebut sudah harus diselesaikan di awal tahun 2018 nanti. Peraturan tersebut nantinya akan mengatur 15 ketentuan yang ada, di mana salah satunya terkait aksesibilitas di peradilan Indonesia.

Hambatan Difabel di dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Menurut M. Syafi’ie (2015), substansi hukum yang menciderai nilai kemanusiaan masih menjadi salah satu hambatan di ranah peradilan, yang memiliki potensi adanya tindakan diskriminasi terhadap difabel di Indonesia. Dalam substansi hukum, hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) hingga saat ini masih belum memperhatikan karakteristik difabel, sehingga hal ini berpotensi difabel kerap kali mendapat perlakuan diskriminatif di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.

Sebagai contoh, aturan KUHAP masih memandang difabel sebagai orang yang tidak cakap hukum. Selain itu, aturan dalam KUHAP juga tidak mewajibkan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan assessment terhadap kondisi difabel terlebih dahulu. Bahkan kewajiban memberikan bantuan hukum hanya diperuntukan bagi tersangka/terdakwa saja, sedangkan korban difabel belum mendapatkan adanya jaminan bantuan secara cuma-cuma di dalam pengaturan KUHAP.

Dalam praktiknya, hak-hak korban difabel seringkali tidak terpenuhi karena adanya minim pemahaman dan stigma negatif oleh aparat penegak hukum. Menurut catatan MaPPI-FHUI (2016) dan PUSHAM UII (2015) terdapat beberapa contoh kasus dimana difabel tidak mendapatkan aksesibilitas dalam memberikan kesaksian.  

Dalam beberapa kasus, terdapat temuan aparat penegak hukum tekesan mengalami kesulitan dan cendrung lambat dalam merekonstruksi hukum jika difabel menjadi korban tindakan pidana. Alasannya, seringkali aparat penegak hukum menilai korban tidak dapat memberikan keterangan saksi yang memadai.

Jika korban difabelnya buta, ada anggapan bahwa kesaksian mereka tidak memadai karena kondisi fisik mereka yang tidak bisa melihat pelaku. Salah satu dugaan yang menjadi penyebabnya adalah ketentuan di dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dimana disebutkan bahwa saksi merupakan;

“orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.

Selain contoh kasus di atas, temuan lain juga terjadi terhadap difabel mental baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Salah satu kasus yang didampingi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) yang terjadi di Sukoharjo dengan Nomor putusan 224/Pid.B/2013/PTSmg.

Korban merupakan seorang tuna rungu, tuna wicara dan mengalami retardasi mental. Umurnya sudah mencapai 22 tahun namun umur mentalnya setara dengan usia 9 tahun. Ia menjadi korban pencabulan oleh gurunya. Selama proses pemeriksaan, aparat penegak hukum tidak melakukan assessment ahli dan cenderung mengabaikan sisi psikis korban sehingga korban mengalami stress dan trauma.

Setelah penyidik melengkapi BAP maka pelaku disangkakan dengan Pasal 285 KUHP, 289 KUHP, 294 KUHP. Namun penyidik tidak menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak walaupun usia mental korban adalah 9 tahun dengan alasan definisi anak dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) adalah usia kalender.

Selain sebagai korban, kondisi mental difabel juga mempengaruhi bagi aparat penegak hukum untuk menentukan apakah kondisi mental difabel bagi suatu pelaku pidana bisa menjadi alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang mereka lakukan. Hal ini dapat terjadi, karena tidak ada pengaturan secara jelas di dalam KUHAP, sehingga penafsirannya cendrung bergantung terhadap perspektif dan pemahaman masing-masing aparat penegak hukum, karena tidak adanya acuan standar bagi aparat penegak hukum dalam menangani suatu perkara.

Perubahan Kebijakan terhadap Aksesibilitas Difabel di dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Salah satu penyebab adanya hambatan bagi difabel di sistem peradilan pidana Indonesia, karena KUHAP saat ini masih belum memasukan prinsip-prinsip pendekatan hak asasi manusia bagi difabel. Pemerintah Indonesia baru meratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) di tahun 2011, kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan UU Penyandang Disabilitas di tahun 2016 lalu. Sedangkan, aturan KUHAP dikeluarkan di tahun 1981, dimana ketika itu diskursus mengenai pendekatan hak asasi manusia bagi difabel dalam lingkup nasional belum berkembang seperti saat ini.

Di dalam KUHAP, pengaturan usia mental belum diatur secara jelas. Bahkan di UUPA, penghitungan usia seseorang masih berdasarkan usia kalender, bukan usia mental sesungguhnya. Jika ketentuan tersebut belum diatur, tentu saja akan memiliki implikasi terhadap pertimbangan hakim.

Sebagai contoh, Hakim memiliki kebingungan sendiri ketika memutus perkara dimana korbannya merupakan difabel yang memiliki usia mental dibawah umur. Pada kasus kekerasan seksual, korban difabel tersebut bisa saja mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku bukanlah suatu tindakan kekerasan. Dalam kondisi tersebut, hakim akan kesulitan untuk menentukan berat atau ringannya hukuman terhadap pelaku.

Pada Pasal 30 UU Penyandang Disabilitas sebenarnya sudah mengatur kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk meminta pertimbangan atau saran dari dokter, psikolog ataupun pekerja sosial untuk melakukan assessment terhadap kondisi dan kebutuhan difabel. Akan tetapi, meskipun UU Penyandang Disabilitas tersebut sudah disahkan semenjak 2016 lalu, namun perubahannya belum berjalan maksimal di jajaran praktik.

Kurniata Tampubolon (2017) mengatakan bahwa UU tersebut masih sangatlah baru, namun perspektif yang sudah terbangun sudah terinstitusionalisasi sejak lama. Menurutnya, implementasi dari aturan tersebut perlu dilanjutkan dengan dibentuknya peraturan internal terkait pelaksanaan UU tersebut. Sehingga tiap instansi penegak hukum bisa menurunkannya ke program kerja instansi dan alokasi anggaran.

Selain itu, tidak selamanya hambatan perlu diselesaikan dengan dibentuknya peraturan baru. Melainkan dengan adanya peningkatan pemahaman bahwa difabel memiliki kedudukan yang setara dengan yang lainnya, sehingga pemberian aksesibilitas diperlukan dalam rangka membuka kesempatan yang setara agar difabel bisa berpartispasi secara seimbang dengan pihak lainnya. Disebutkan sebelumnya, terdapat kasus dimana aparat penegak hukum tidak memproses perkara yang melibatkan difabel sebagai korban, dikarenakan adanya ketidakpahaman akan kondisi difabel, terutama bagi korban difabel yang tidak dapat melihat ataupun mendengar.

Padahal jika mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-VII/2010, disebutkan bahwa keterangan saksi tidak semata hanya sekadar melihat, mendengar atau merasakan – melainkan selama saksi tersebut memiliki relevansinya dengan perkara tersebut. Menurut Majelis Hakim MK, konteks pembuktian bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana, melainkan untuk membuktikan apakah perbuatan pidana benar-benar terjadi.

Oleh karena itu, penting bagi penyusun kebijakan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi terhadap difabel di sistem peradilan pidana Indonesia. Sehingga kebijakan yang disusun nantinya akan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada. Apalagi pemerintah memiliki kewajiban untuk menyusun peraturan pelaksana dari UU Penyandang Disabilitas dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak UU tersebut diundangkan pertama kali. Dalam prosesnya, pemerintah bisa melibatkan para akademisi, komunitas masyarakat, serta difabel itu sendiri dalam proses penyusunannya.

*)Dio Ashar Wicaksana adalah Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI)
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait