ABNA, Cikal Bakal Lahirnya Kantor Advokat Modern Generasi Kedua
Lipsus: Sejarah Kantor Advokat Indonesia

ABNA, Cikal Bakal Lahirnya Kantor Advokat Modern Generasi Kedua

Boutique Law firm, demikian istilah yang dipakai Adnan Buyung Nasution untuk menggambarkan kantor ABNP saat ini.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Adnan Buyung Nasution. Foto ilustrasi: HGW
Adnan Buyung Nasution. Foto ilustrasi: HGW
“Dari dulu kan saya ingin mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Sebutan LBH telah muncul di benak saya. Niat ini sudah saya pendam sejak tahun 60-an, sepulang dari Australia, tapi tertunda terus pelaksanaannya. Sesampainya saya di Tanah Air dari Australia itu saya berdialog dengan Mr. Besar Mertokusumo yang saat itu menjabat Sekjen Depkeh (Departemen Kehakiman),” demikian tutur Almarhum Adnan Buyung Nasution dalam bukunya “Pergulatan Tanpa Henti - Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto”.

Bang Buyung, begitu ia kerap disapa, memiliki cita-cita untuk terus membela kaum “papa” yang sulit mengakses keadilan hukum. Berkaitan dengan ini, Bang Buyung menggambarkan betapa sulitnya proses hukum yang pernah ia jalani akibat memilih untuk berbeda jalan dengan Pemerintah.

Sambil menjelaskan prinsip dasar habeas corpus yang kemudian menginspirasi ketentuan Praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagaimana yang terekam dalam bukunya “Arus Pemikiran Konstitusionalisme – Advokat”, ia menggambarkan betapa tidak berdayanya seseorang yang direnggut kemerdekaannya dan dijebloskan ke dalam sel tahanan, sehingga terputus hubungannya dengan dunia luar termasuk keluarga.

Dalam dialognya dengan Mr. Besar pada 1959, Bang Buyung mengutarakan niatnya untuk mendirikan lembaga bantuan hukum sebagai divisi pembelaan di Depkeh/Kejaksaan Agung sebagaimana model public defender di Amerika Serikat. Sayangnya, ide tersebut tidak bisa langsung dilaksanakan. Saat itu, kondisi Indonesia pada umumnya dan pemerintah pada khususnya sedang tidak berkenan dengan adanya pemikiran tentang pembelaan terhadap hak asasi manusia yang dianggap individualistis.

“Kau tunggulah sepuluh tahun lagi,” kata Mr. Besar sebagaimana terangkum dalam buku “Pergulatan Tanpa Henti - Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto”. Mr. Besar sendiri adalah jurist pribumi yang pertama kali berhasil menjadi advokat pada zaman Hindia Belanda, masa sebelum perang kemerdekaan.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1969, ide untuk mendirikan LBH kembali ia diskusikan dengan Soemitro Djojohadikusumo dan Mochtar Lubis. Melalui diskusi tersebut, Bang Buyung memperoleh masukan untuk terlebih dahulu berkerja secara profesional sebagai advokat. Alasan yang disampaikan oleh kedua tokoh tersebut adalah untuk berjuang dibutuhkan kemandirian secara finansial agar tidak bergantung kepada orang lain.

Oleh Soemitro, Bang Buyung lantas diperkenalkan dengan Mochtar Kusumaatmadja, Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH UNPAD) saat itu. Kepada keduanya, Soemitro berpesan agar bersama mendirikan biro konsultan di bidang hukum. Untuk menopang pekerjaan mereka di awal karena belum adanya klien, Soemitro berjanji menyerahkan masalah-masalah hukum dari kantornya bersama Mochtar Lubis, Indo Consult, untuk ditangani oleh Buyung dan Mochtar Kusumaatmadja.

Sayangnya, pasca itu Soemitro diangkat menjadi Menteri Perdagangan oleh Presiden Soeharto. Kesibukan sebagai Menteri Perdagangan menghambat komunikasi antar mereka. Bahkan Indo Consult pun mulai merosot reputasinya setelah ditinggal Soemitro. Akhirnya, Bang Buyung dan Mochtar sepakat berjalan sendiri-sendiri.

Tetap pada jalan mendirikan biro konsultan hukum, Bang Buyung memperoleh tempat di Jalan Juanda III/No.31-i. Menumpang pada kantor milik PT Angkola kepunyaan Rudi Siregar, sebuah ruangan yang ditempati kemudian dibagi dua menggunakan tirai bambu. Satu sisi untuk bekerja menerima klien, kemudian sisi lainnya ditempati sekretaris. Di situ pertama kali kantor konsultan hukum, Adnan Buyung Nasution Associates (ABN Associates) beroperasi.

Bersama Victor Sibarani, Minang Marwan, Sukayat, Bang Buyung menjalankan kantornya. Setahun kemudian bergabung Moh. Assegaf, John Kusnadi, Erman Rajaguguk, Nono A, Makarim, Zen Umar Purba, dan lainnya. Menurut Putri Bang Buyung, Pia A.R Akbar Nasution, kalangan ini kemudian mengisi ABN Associates yang concern menangani perkara-perkara litigasi.

“Itu mereka yang litigasi seingat saya kantor mereka di Jl. Juanda,” terang Pia yang juga sebagai Managing Partner Adnan Buyung Nasution & Partner (ABNP) kepada hukumonline di kantor law firm nya.

(Baca Juga: Ini Semangat Adnan Buyung yang Masih Melekat)


Selain mendirikan ABN Associates, Bang Buyung kemudian mendirikan law firm non litigasi bersama Timbul Thomas Lubis dan Sri Indrastuti Hadiputranto yang diberi nama NLH (Nasution Lubis Hadiputranto) pada 1982. NLH berkantor di Gedung Prince, Jl. Jenderal Soedirman. “Jadi building nya itu dibedain khusus untuk menangani corporate,” ujar Pia.  

Sayangnya, kantor ini berumur pendek karena pada 1985, Sri Indrastuti Hadiputranto dan Timbul Thomas Lubis bergabung dengan Ganie & Surowidjojo yang belum lama berdiri sehingga law firm tersebut berubah nama menjadi Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS). NLH pun kemudian tidak berlanjut. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam tulisan Ahmad Fikri Assegaf dengan judul “Besar Itu Perlu: Perkembangan Kantor Advokat Di Indonesia Dan Tantangannya” di Jurnal Hukum & Pasar Modal Volume VII/Edisi 10 Juli-Desember 2015. 

Di periode ini, pada 1983, ada sebuah kasus yang menurut Bang Buyung cukup diingat. Hal itu karena ia membela sebuah perusahaan asing yang tengah bersengketa dengan pihak nasional. Adalah ICEC (International Commodity Export Corporation), merupakan perusahaan Amerika yang dibela oleh Bang Buyung, melakukan transaksi free on board (FOB) dengan PN Adhuma Niaga.

Barang yang telah diterima di atas kapal, berikut bill of loading (daftar muatan) yang telah dikirimkan oleh ICEC kepada PN Adhuma Niaga di Jakarta selaku pembeli, bahkan ICEC pun telah menerima pembayaran. Persoalan timbul setelah kapal yang seharusnya berlayar ke pelabuhan di Indonesia mengalami masalah di Athena sehingga tidak dapat melanjutkan perjalanan.

Pihak PN Adhuma Niaga kemudian mengklaim barang pada kapal yang kandas tersebut harus menjadi tanggung jawab ICEC untuk menyelamatkan. Hal berbeda dengan ICEC yang menganggap transaksi dengan PN Adhuma sudah selesai pembayarannya, sehingga tidak merasa bertanggung jawab atas penyelamatan barang.

Mewakili dirinya, PN Adhuma Niaga menunjuk Prof. Go Giok Siong alias Sudargo Gautama dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Bang Buyung saat mewakili ICEC dibantu oleh advokat dari kantornya, yaitu John Kusnadi sambil bekerjasama dengan lawyer Amerika. Singkat cerita, perkara yang disidangkan di tiga tempat tersebut, New York, Athena, dan Jakarta, atas inisiatif Bang Buyung dengan dibantu Jenderal Hasnan Habib yang adalah duta besar Indonesia di Washington akhirnya dicabut oleh kedua belah pihak.

Contempt of Court dan dicabut izin praktik
Pada 8 Januari 1986, ada kejadian menarik di hadapan sidang pembacaan putusan perkara Tanjung Priok yang menjadikan Letnan Jenderal (Purn) HR Dharsono sebagai terdakwa. Dalam pertimbangan vonisnya, hakim menyatakan “Kesimpulan tim pembela dan terdakwa bahwa seakan-akan peristiwa tersebut sudah direncanakan dan Pemerintah ikut mematangkan situasi adalah terlalu pagi, tanpa bukti, berbahaya, menimbulkan citra jelek terhadap pemerintah, tidak pantas dan tidak etis”.

Mendengar hakim mengatakan “tim pembela tidak pantas dan tidak etis”, di hadapan sidang yang terbuka untuk umum tersebut, Bang Buyung kemudian mengambil mikrofon di mejanya dan menyampaikan interupsi terhadap hakim ketua yang sedang membacakan vonis. Bang Buyung merasa pertimbangan hakim yang menyebut tim pembela tidak pantas dan tidak etis tidak boleh terjadi.

“Satu vonis yang menghujat, meng-condemn pembela tidak etis, maka saya serta merta bereaksi,” kata Bang Buyung sebagaimana diterangkan dalam bukunya “Pergulatan Tanpa Henti – Menabur Benih Reformasi”.

Hukumonline.com
Sumber: Buku “Pergulatan Tanpa Henti – Menabur Benih Reformasi”.

Kejadian interupsi terhadap uraian hakim dalam sidang pembacaan putusan HR Dharsono ini kemudian berbuntut panjang. Banyak pihak yang mempersoalkan peristiwa tersebut. Pemberitaan media cetak saat itu menyebutkan “Buyung melakukan contempt of court”.

Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) kemudian melakukan sidang kode etik dengan membentuk Dewan Kehormatan (DK). DK yang dibentuk terdiri dari dua tingkat. DK tingkat Jakarta yang dipimpin Lukman Wiradinata dan DK tingkat pusat yang dipimpin Prof. Subekti. Dalam persidangan yang digelar DK Ikadin tersebut, Bang Buyung diperiksa dan diadili.

Dalam buku “Pergulatan Tanpa Henti – Menabur Benih Reformasi,” DK Ikadin menyatakan bahwa sikap dan tindakan Adnan Buyung Nasution yang membela kehormatan provesi advokat bisa dipahami dan dibenarkan oleh DK. Akan tetapi, cara Bang Buyung menginterupsi hakim yang sedang membaca vonis dianggap tidak tepat. Menurut DK, seharusnya protes terhadap uraian hakim itu disampaikan di akhir setelah hakim selesai membacakan putusannya.

Alhasil, atas tindakannya tersebut DK memberikan peringatan keras kepada Bang Buyung. Selain itu dalam pertimbangan DK, Hakim pun dinyatakan bersalah karena tidak memberikan peringatan sebelumnya, tapi langung menyalahkan tim pembela dalam pertimbangan vonis. Demikian keputusan DK Ikadin di dua tingkat persidangan kode etik.

Namun persoalan tidak selesai sampai di situ. Pemerintah melalui Menteri Kehakiman (Menkeh) Ismail Saleh, menuntut agar Bang Buyung dihukum. Pada 24 Februari 1986, Ketua Pengadilan (PN) Jakarta Pusat, Soebandi, memanggil Bang Buyung untuk memberi jawaban atau pembelaan tertulis.

Bang Buyung berkeberatan dengan forum maupun tata cara yang digunakan dalam pemanggilan, pemeriksaan, dan penilaian terhadap dirinya sebagai advokat. Menurutnya, belum ada pengaturan formal mengenai pengawasan Pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) terhadap advokat sebagaimana amanat Undang-Undang MA No.14 Tahun 1985.

Akhirnya, pada 17 Maret 1986, PN Jakarta Pusat mengeluarkan surat keputusan administratif kepada Bang Buyung. Tindakannya dalam sidang pembacaan vonis HR Dharsono dikatakan tidak dapat dibenarkan, baik menurut hukum acara yang berlaku maupun menurut sumpah profesi jabatan.

PN Jakarta Pusat memvonis Bang Buyung dipecat dari jabatan pengacara dan mengusulkan kepada Menteri Kehakiman agar izin praktiknya sebagai advokat dicabut. Tidak lama berselang, vonis tersebut diubah oleh PN Jakarta Pusat menjadi skorsing 6 bulan. Terakhir, Ketua MA, Ali Said menganulir semua vonis tersebut menjadi hanya sebuah peringatan.

Putusan Ketua MA ternyata tidak mengakhiri polemik Contempt of Court. Menteri Kehakiman, Ismail Saleh memanggil Bang Buyung dalam waktu dua pekan menghadap ke Kedubes Belanda untuk membela diri sebelum dijatuhkannya tindakan administratif terhadap dirinya. Saat itu, Bang Buyung telah kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya. Bang Buyung hanya membalas pemanggilan Menkeh Ismail lewat surat melalui Dubes M. Romly yang isinya menolak maksud pemanggilan tersebut.

Buntutnya pada 11 Mei 1986, atas nama pemerintah, Menteri Kehakiman Ismail Saleh menjatuhkan sanksi pencabutan izin praktik selama setahun kepada Bang Buyung. Kepada hukumonline, putri Bang Buyung, Pia A.R Akbar Nasution menuturkan dampak dari pencabutan izin praktik tersebut. Menurut Pia, akibat pencabutan izin praktik, kantor ABN Associates mengalami goncangan besar.

“Di situ baru kantor goncang, klien juga takut sehingga pergi sehingga kantor terpaksa tutup,” kenang Pia.

Hukumonline.com
Diolah dari berbagai sumber.

Nasution, Soedibjo, Maqdir & Partner (NSM&P)
Dua tahun sekembalinya dari Belanda dihabiskan Bang Buyung dengan membenahi Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Sesudah itu, ia merasa tiba waktunya untuk membuka kantor pribadi kembali. Bersama dua rekannya, Bang Buyung membuka kantor pribadi di Jalan Angkasa Nomor 20 C-D Kemayoran. Kantor konsultan hukum itu diberi nama NSM&P (Nasution, Soedibjo, Maqdir & Partner).

Setelah lama tidak beraktifitas sebagai professional lawyer, Bang Buyung merasa perlu untuk memperkenalkan diri kembali dan kantor hukum barunya. Untuk itu, diselenggarakanlah sebuah resepsi dengan menghadirkan Soemitro Djojohadikusumo sebagai keynote speaker. Usaha ini tidak sia-sia. Klien pertama NSM&P adalah Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) sebelum berubah nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara.

BJ Habibie yang merupakan Direktur IPTN merangkap Menteri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), meminta NSM&P menjadi corporate lawyer IPTN. Dalam bukunya “Pergulatan Tanpa Henti – Menabur Benih Reformasi”, Bang Buyung mengatakan menjadi corporate lawyer IPTN merupakan peluang emas dan merupakan tindakan strategis yang tepat. Bagaimana tidak, Setelah itu Bang Buyung bersama NSM&P diminta oleh Menteri Perindustrian IB Sudjana untuk menjadi corporate lawyer PT Migas. PT Migas waktu itu sedang bersengketa dengan pihak lain dalam hal mendirikan Gedung Migas (Migas Center).


Hukumonline.com
BJ Habibie dan Adnan Buyung Nasution. Sumber: Buku “Pergulatan Tanpa Henti – Menabur Benih Reformasi”.

Setelah itu, beberapa industri strategis negara lainnya seperti, PT KAI (Kereta Api Indonesia), Pindad (Perindustrian Angkatan Darat), PT PAL (Perusahaan Armada Laut) di Surabaya juga meminta Bang Buyung menjadi penasihat hukum. Hal ini memberikan keyakinan kepada Bang Buyung bahwa Pemerintah menaruh kepercayaan kepada keahliannya di bidang hukum.

Waktu menangani IPTN, ada satu kondisi di mana IPTN berada dalam situasi terjepit. IPTN sebagai pemegang lisensi pembuatan onderdil-onderdil dari pesawat terbang Fokker-VFW N.V di Belanda yang berdiri sejak tahun 1919. Karena kondisi yang tidak disebutkan, Fokker mengalami kebangkrutan. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Belanda maupun Indonesia, perusahaan yang dinyatakan pailit tidak boleh beroperasional lagi, termasuk kontrak yang dibangun dengan pihak lain tidak berlaku lagi.

(Baca Juga: Presiden: Adnan Buyung Nasution Tokoh Panutan)


Dalam kontrak antara IPTN dengan Fokker, diatur ketentuan yang menyebutkan bahwa semua produksi IPTN pesanan Fokker, penjualannya harus melalui Fokker. Dengan kebangkrutan Fokker tersebut otomatis berdampak kepada produksi IPTN yang kemudian tidak bisa dijual.

Bang Buyung yang dimintai pendapat hukumnya terkait permasalahan ini menyarankan agar IPTN menghubungi Pengadilan Belanda untuk melaporkan kondisi yang dihadapi oleh IPTN. Hal ini agar IPTN mendapatkan jalan keluar sehingga dapat menjual produknya ke pasaran.

Adnan Buyung Nasution & Partner (ABNP)
Di era 1996, Bang Buyung mendirikan Adnan Buyung Nasution & Partner (ABNP) setelah Soedibjo mundur dari NSM karena alasan kesehatan. Bersama Maqdir Ismail, partner Bang Buyung di NSM, mereka mendirikan ABNP. ABNP inilah yang kemudian bertahan hingga saat ini. Namun di tengah perjalanan, Maqdir Ismail memilih untuk mendirikan law firm sendiri yang diberi nama Maqdir Ismail & Partners. Bang Buyung sendiri tutup usia pada 23 September 2015.

Ahmad Fikri Assegaf, dalam tulisannya di Jurnal Hukum dan Pasar Modal volume VII/Edisi 10 Juli-Desember 2015 yang diterbitkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), “Advokat, Kantor Hukum dan Dinamika Bisnis di Indonesia”, menyebut ABNA sebagai ‘induk’ terpenting yang melahirkan banyak sekali kantor advokat modern generasi kedua.

Saat berkunjung ke kantor ABNP, hukumonline berdiskusi dengan ketiga partner ABNP saat ini. Pia A.R Akbar Nasution, Sadly Hasibuan, dan Indra Nathan Kusnadi. Tampak jelas jejak Bang Buyung di kantor ABNP sepeninggalan beliau. Apalagi, ketiga partner ABNP saat ini sadar betul untuk menjaga legacy yang ditinggalkan oleh Bang Buyung.

Boutique Law firm, demikian istilah yang dipakai Bang Buyung untuk menggambarkan kantor ABNP. Di tengah derasnya arus industrialisasi kantor hukum yang mengandalkan kapasitas modal dan struktur organisasi korporasi yang kuat, ABNP tetap mempertahankan ciri khas kantor hukum litigasi tanpa meninggalkan penanganan terhadap klien-klien yang berasal dari korporasi.

Managing Partner ABNP, Pia A.R Akbar Nasution mengatakan manajerial kantor ABNP saat ini telah menggunakan instrumen International Organization of Standardization (ISO). Dengan menerapkan ISO, ada sistem standar kualitas yang bisa diterapkan oleh ABNP dalam menjalankan aktifitas operasionalnya.

Standar kualitas tersebut mencakup segala aspek. Dari manajemen penanganan perkara yang masuk sampai penentuan lawyer yang menangani perkara. “Penanganan kasus, kasus masuk kita diskusikan bertiga. Bisa nggak kita tanganin, siapa lawyernya? Tinggal kita lihat aja, siapa yang belum terlalu tinggi bebannya itu yang kita berikan. Karena semua lawyer di sini harus bisa (menangani) semua (kasus),” ujar Pia.

Hukumonline.com
Managing Partner ABNP, Pia A.R Akbar Nasution.

Mekanisme penanganan perkara di ABNP dimulai dari seorang junior lawyer. Kepada junior lawyer diberikan tugas untuk membuat semacam summary kasus untuk diserahkan kepada senior lawyer. Di tangan senior lawyer, summary kasus dianalisis.

Hasil Analisis tersebut kemudian didiskusikan dengan seorang partner untuk menentukan strategi selanjutnya. Semua proses ini terekam dalam sebuah dokumentasi yang akan diaudit setiap tahunnya oleh ISO. “Pelaksanaannya sudah benar nggak sih?,” tambah Indra Nathan Kusnadi.

Selain mekanisme penanganan perkara, standar kualitas di ABNP juga mencakup aspek bagaimana kantor hukum dijalankan. Mekanisme pengadaan barang, pola rekrutmen, pengupahan, penerimaan klien, jenjang karier, dan sebagainya. Kesemuanya juga menjadi bagian penilaian oleh ISO.

“Tujuan dari adanya ISO ini agar semua sesuai prosedur. Ada unsur pemaksanya agar kita semua teratur,” terang Sadly Hasibuan.

Menggambarkan jenjang karier di ABNP, Pia menyebutkan dasarnya adalah magang. Di atas magang, terdapat para legal. Para legal di ABNP merupakan seorang sarjana hukum yang belum memegang lisensi advokat. Setelah itu ada junior lawyer yang jenjang di atasnya adalah senior lawyer.

Sebelum menjadi partner, ada jenjang associate yang terlebih dahulu mesti dilewati. Proses penjenjangan tersebut disupervisi oleh setiap tingkat di atasnya, sampai kemudian dilaporkan kepada partner untuk didiskusikan kembali penilaian hasil supervisi sebelum kemudian diputuskan. Sekali lagi, proses ini menjadi bagian penilaian oleh ISO.

Setelah kesemuanya itu, satu hal penting yang coba dipertahankan oleh ABNP adalah mutu penanganan perkara. Hal ini menjadi krusial mengingat kencangnya persaingan kantor hukum yang ada, juga cara para partner untuk menjaga semangat Bang Buyung untuk tetap hidup di tengah-tengah mereka.

Satu pesan Bang Buyung yang selalu diingat oleh setiap orang yang ada di ABNP adalah “Tidak ada perkara besar atau perkara kecil, semuanya sama. Sekecil-kecilnya perkara perdata, itu berhubungan dengan kekayaan seseorang. Sekecil-kecilnya perkara pidana, itu berhubungan dengan kemerdekaan seseorang. Jangan pernah menyepelekan perkara yang kalian tangani. Tidak ada klien yang tidak gelisah yang datang kepada kita. Tenangkan mereka, rangkul, dan bantu pecahkan masalahnya. Jangan pernah manfaatkan dan memperalat mereka,” kenang Pia.

Tags:

Berita Terkait