Hati-hati, Ini Konsekuensi Hukum Jika Tugas Akhir Dikerjakan Orang Lain
Berita

Hati-hati, Ini Konsekuensi Hukum Jika Tugas Akhir Dikerjakan Orang Lain

Orang yang meminta tugas akhirnya dikerjakan pihak lain maupun pihak yang mengerjakannya sama-sama bisa diancam sanksi pidana.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kekayaan intelektual. Foto: RES
Ilustrasi kekayaan intelektual. Foto: RES
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi mahasiswa, menyelesaikan tugas akhir merupakan tantangan tersendiri. Sayangnya, banyak juga mahasiswa yang menyerah pada tantangan itu. Alih-alih bekerja keras mengejar gelar akademik dengan menyelesaikan tugas akhir secara sungguh-sungguh, mereka justru meminta pihak lain mengerjakannya.

Tak heran, sejak puluhan tahun lalu jasa pembuatan tugas akhir baik berupa skripsi, tesis, maupun disertasi telah banyak bermunculan di Indonesia. Seorang penyedia jasa pembuatan tugas akhir di Jakarta, misalnya, siap mengerjakan skripsi hanya dengan upah sebesar Rp4,5 juta. Biaya itu pun tak perlu dibayar kontan.

Cukup dengan uang muka Rp1,5 juta, mahasiswa yang memberi order akan menerima proposal penelitian. Kemudian, saat pengerjaan bab dua dan bab tiga dibayarkan lagi masing-masing Rp800 ribu. Sedangkan waktu penggarapan bab empat dan bab lima masing-masing Rp700 ribu.

“Terkait waktu pembuatannya sendiri secara keseluruhan tidak dapat dipastikan. Sebab, disesuaikan dengan revisi-revisi dari dosen,” ujar sumber yang tak mau disebutkan identitasnya itu, sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (10/10).

Dari perspektif hak kekayaan intelektual, pembuatan skripsi bayaran itu bisa dianggap dalam hubungan kerja. Dengan demikian, merujuk Pasal 36 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maka pemegang hak cipta atas skripsi tersebut adalah pembuatnya. Kecuali, ada perjanjian yang menyebutkan bahwa pemilik hak cipta itu adalah yang tertera namanya.

Selain itu, Pasal 44 ayat (1) huruf a mengatur bahwa untuk keperluan pendidikan, lembaga diperbolehkan untuk menggunakannya selama sumbernya disebutkan dan dicantumkan secara lengkap. (Baca Juga: Ditjen HKI Sosialisasi Teknologi Perpanjangan Hak Merek Online)

“Masalahnya kan ini yang membuat siapa? “Hantu”, karenanya disebut ghost writer. Jadi ya selama tidak ada gugatan dari pembuatnya, maka orang yang namanya tertera dalam karya itulah yang memegang haknya. Karena kan, memang dianggapnya demikian bahwa karya itu dibuat sendiri oleh yang bersangkutan,” jelas Konsultan HKI, Gunawan Suryomurcito kepada hukumonline, Rabu (11/10).

Namun, justru anggapan bahwa karya itu dibuat sendiri oleh orang yang namanya tercantum dalam tugas akhir tersebutlah sumber masalah menurut hukum pidana. Pasalnya, saat ini sudah jamak ditemukan pernyataan orisinalitas yang disematkan di halaman depan karya tulis mahasiswa. Maka, bila mahasiswa yang menyatakan karya itu dibuatnya sendiri tetapi pada kenyataannya meminta orang lain untuk membuatkannya, bisa-bisa ia dijerat KUHP. (Baca Juga: Begini Isi Permenkumham Permohonan Kekayaan Intelektual Online)

“Kalau secara eksplisit sudah ada pernyataan bahwa tugas akhir itu adalah karya A, tetapi terbukti yang membuat adalah B, maka dapat dikatakan A telah melakukan penipuan,” jelas Pakar Pidana Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi.

Pasal 378 KUHP mengatur penipuan sebagai tindakan, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, seseorang menipu jika perbuatannya berupa upaya  membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.

Upaya tersebut dapat dilakukan dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau pun karangan perkataan bohong. Adapun maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak. (Baca Juga: Mengintip Tata Cara Pendaftaran Merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis)

Mengacu pada komentar R. Soesilo mengenai pasal ini, maka mahasiswa yang meminta orang lain mengerjakan tugas akhirnya memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP, yakni secara melawan hukum dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan menggerakkan institusi tempatnya belajar untuk menyerahkan sesuatu kepadanya berupa gelar akademik.

“Akan tetapi, jika tugas akhirnya sudah dibuat hanya saja belum sampai pada tahap pemberian gelar, maka baru berupa percobaan penipuan,” imbuh Fachrizal.

Lalu bagaimana dengan orang yang membantu membuatkan tugas akhir itu, apakah juga bisa mendapat sanksi pidana? Hingga saat ini, memang belum ada peraturan yang gamblang mengenai larangan jasa pembuatan tugas akhir. Karenanya, belum ada sanksi pidana yang eksplisit mengancam perbuatan tersebut.

“Kalaupun mau dipaksakan, bisa saja kita menggunakan analogi. Tapi mungkin hal ini masih debatable,” ujar Fachrizal.

Analogi yang bisa digunakan menurut Fachrizal, pidana pemalsuan surat. Ia merujuk pada kasus-kasus joki ujian masuk perguruan tinggi negeri yang kerap diganjar Pasal 263 KUHP oleh polisi. Alasannya, para joki itu mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menggunakan identitas palsu.

Menurutnya, orang yang mengerjakan tugas akhir orang lain juga bisa dilihat telah memalsukan identitas. Ia mengerjakan suatu perbuatan dengan menggunakan identitas orang lain.  Selain itu, tugas akhir dianggap sebagai surat yang memiliki nilai dan menimbulkan hak baru. Sebab, setelah menyelesaikan tugas akhir itu lah orang kemudian mendapatkan gelar akademik.

Fachrizal pun mengingatkan, delik pemalsuan surat merupakan delik formil. Artinya, tidak diperlukan adanya akibat, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. “Jadi setelah mengerjakan tugas akhir orang lain, meskipun belum ada akibat berupa gelar akademik, dia bisa dinyatakan memalsukan surat,” pungkasnya.

Rupanya, risiko hukum yang mengintai juga disadari banyak pihak yang menyediakan jasa pembuatan tugas akhir. Seorang penerima jasa pengetikan skripsi yang ditemui di sebuah gang kecil di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat mengatakan tidak pernah menerima pembuatan skripsi, hanya menerima jasa pengetikannya saja.

Materi dan bahan-bahan yang dibutuhkan berasal dari mahasiswanya. Pengetikan skripsi dapat diselesaikan kurang lebih dua minggu sudah lengkap dengan revisi-revisi dari dosen. Dirinya mengaku takut terdeteksi pihak berwajib, jika terus memberikan jasa untuk menggarap tugas akhir orang lain.
"Pembuatan skripsi sulit dan berisiko jadi saya tidak pernah menerima lagi,” ujar sumber itu.


Tags:

Berita Terkait