OJK Minta Industri Jasa Keuangan Antisipasi Ancaman Serangan Siber
Berita

OJK Minta Industri Jasa Keuangan Antisipasi Ancaman Serangan Siber

OJK berencana membuat layanan informasi keuangan yang bertugas mempercepat pemulihan saat terjadi serangan siber, dan membentuk lembaga pelatihan penanganan serangan siber.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Foto: NNP
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut serangan siber semakin besar akibat pesatnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di industri jasa keuangan. Hal tersebut mendorong regulator di sektor jasa keuangan membuat pedoman pemulihan dan pelatihan bagi industri dari serangan siber.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan bahwa upaya pencegahan serangan siber tidak dapat dilakukan oleh satu negara, melainkan harus menjadi inisiatif global. Pasalnya, para peretas (hackers) beroperasi tanpa mengenal batas negara. Khusus Indonesia sendiri, industri jasa keuangan masuk kategori sebagai salah satu infrastruktur yang perlu dijaga dari ancaman keamanan dunia maya.

“Meningkatnya penggunaan internet oleh pemerintah, pelayanan publik dan bisnis swasta termasuk di industri jasa keuangan memiliki implikasi besar jika tidak ditangani dengan baik," kata Wimboh dalam Seminar International Good Practices on Cybersecurity Preparednesss, rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia - IMF di Washington D.C sebagaimana tertulis dalam siaran pers, Rabu (18/10).

Menghadapi hal tersebut, OJK berencana membuat layanan informasi keuangan yang bertugas mempercepat pemulihan saat terjadi serangan siber dan membentuk lembaga pelatihan penanganan serangan siber. Wimboh menuturkan, kepedulian industri jasa keuangan di setiap negara terhadap risiko cyber-attacks ini harus ditingkatkan dengan penguatan manajemen risiko operasional terkait teknologi informasi.

(Baca Juga: Ransomware, Momentum Lawyer Pekerjakan Pakar IT di Firma Hukum)

Selain itu, untuk mengantisipasi peningkatan keamanan siber, OJK telah bergabung dalam inisiatif bersama untuk membentuk Badan Siber Nasional bersama sejumlah kementerian dan lembaga negara sepertiKementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pertahanan, Kementerian Koordinataor Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kepolisian, dan sejumlah kementerian lain.

Dalam lawatannya memenuhi undangan Bank Dunia, Wimboh menghadiri dua pertemuan tingkat tinggi bersama perwakilan bank sentral maupun otoritas pengawas keuangan dari negara lain membahas dua isu besar, yaitu Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN) dan Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks. Kebetulan Wimboh menjadi pembicara utama dalam seminar Annual Meeting of the IFC-led (SBN).

"Perlu ada global roadmap keuangan berkelanjutan yang diharapkan dapat mempercepat pemenuhan pendanaan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dengan meningkatkan peran sektor swasta secara global," kata Wimboh.

Di depan 30 perwakilan negara, Wimboh mengatakan, pengaruh perubahan iklim dapat mengakibatkan gangguan pada sektor jasa keuangan dan berpotensi memicu krisis ekonomi. Setiap negara, kata Wimboh, harus memiliki strategi nasional pengembangan keuangan berkelanjutan sehingga dapat membangun komitmen dan mengkolaborasikan berbagai instansi, akademisi, industri jasa keuangan dan sektor bisnis.

(Baca Juga: Perang Siber Sudah Harus Jadi Ancaman Serius)

OJK sendiri sudah menerbitkan aturan melalui POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik. Pada Desember 2014 sebelumnya, OJK juga mengeluarkan roadmap keuangan berkelanjutan di Indonesia yang bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan yang berkelanjutan dalam jangka menengah (2015-2019) dan panjang (2015-2024) bagi industri jasa keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK.

Sementara itu, Dalam forum Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks, Wimboh menyampaikan, setiap negara memiliki struktur perbankan, kompleksitas dan ukuran yang berbeda-beda, sehingga standarisasi pengaturan kehatian-hatian bank non-sistemik secara internasional sulit dilakukan. Karena itu, diperlukan penyesuaian standar kehati-hatian di masing-masing negara termasuk kerangka pengawasannya dengan karakteristik bank non-sistemik di masing-masing negara tersebut atau asas proporsionalitas.

"Hal ini agar pengaturan berlebihan yang memicu compliance cost yang tinggi dapat diminimalkan tanpa mengurangi efektivitas pengaturan dan pengawasan," kata Wimboh.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani berpendapat cyber crime ini menjadi pembahasan serius karena sektor keuangan di setiap negara sering menjadi target kejahatan ini. Menurutnya, kejahatan siber di sektor keuangan ini bisa berdampak sistemik, apalagi sistem elektronik yang didukung oleh layanan finansial teknologi (fintech) juga makin berkembang pesat. Selain itu, munculnya sistem pembayaran baru seperti bitcoin ternyata justru dapat meningkatkan serangan kepada sektor finansial.

"Penetrasi teknologi ini mulai masuk ke masyarakat dan munculnya Fintech serta alat pembayaran lainnya justru memunculkan kesempatan serangan-serangan yang selama ini belum diperhitungkan," kata Sri Mulyani usai menghadiri acara yang sama, Minggu (15/10).
Tags:

Berita Terkait