Begini Catatan Penegakan HAM Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Berita

Begini Catatan Penegakan HAM Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum tuntas.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian masalah HAM tersendat. Foto: RES
Penyelesaian masalah HAM tersendat. Foto: RES
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah berjalan sekitar tiga tahun. Sejumlah pihak menyoroti kinerja pemerintah di berbagai bidang antara lain soal penegakan dan pemenuhan HAM.  Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai kinerja pemerintah selama tiga tahun ini di bidang HAM mendapat rapor merah. Ada beberapa sebab seperti pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berkeyakinan, beragama, dan berkumpul secara damai.

Untuk menegakkan dan memenuhi HAM, jelas Usman, sebenarnya pemerintah punya modal payung hukum kuat yakni konstitusi dan produk legislasi. Sayangnya payung hukum yang kuat tidak digunakan secara baik sehingga penggunaan pasal pemidanaan represif terus terjadi seperti pidana makar, penodaan agama, dan pencemaran nama baik. Padahal dalam program Nawacita, HAM menjadi isu utama yang akan diusung, tapi praktiknya tidak berjalan sesuai harapan.

“Kami berikan rapor merah bagi kinerja pemerintah di bidang kebebasan berekspresi, dan berpendapat. Kami sulit mencari capaian yang bisa diapresiasi,” kata Usman dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/10).

(Baca juga: Komnas HAM Akui Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu Masih Tersendat).

Kehendak politik pemerintah pusat untuk menegakkan HAM tidak koheren dengan sikap pemerintah daerah sehingga banyak kelompok minoritas yang belum mendapat haknya. Misalnya, komunitas Syiah di Sampang, dan Ahmadiyah di Lombok. Belum nampak upaya pemerintah memperbaiki kondisi HAM dan menindak pelaku penyerangan. Juga penutupan sejumlah tempat ibadah di beberapa daerah.

Selain itu, Usman menyoroti penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak mengalami kemajuan berarti. Usman mencatat korban dan penyintas tragedi 1965-1966 kesulitan mendapat ruang untuk berdiskusi karena selalu mengalami tekanan. Beberapa pertemuan yang mereka gelar dibubarkan, yang terakhir di kantor LBH Jakarta. Alih-alih dibela, pemerintah justru membenarkan adanya ancaman komunis baru sehingga dalam sebuah pidato Presiden Jokowi menyebut istilah ‘gebuk saja.’ Bagi Usman ini catatan buruk penegakan HAM dalam rangka menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

(Baca juga: Ada Penurunan Indeks Negara Hukum Indonesia 2016).

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi, Khalisah Khalid, menilai kinerja pemerintah di bidang perlindungan lingkungan hidup masih buram. Pengelolaan hutan oleh rakyat melalui program reforma agraria, dan perhutanan sosial serta penyelesaian konflik agraria sebagaimana tertuang dalam nawacita tidak berjalan mulus. Hampir sebagian besar janji itu tidak konsisten dalam RPJMN, malah mengancam komitmen politik tersebut.

Misalnya, pembangunan infrastruktur skala besar dan masif menjadi prioritas pemerintah. Ini serupa dengan kebijakan pembangunan era orba sehingga pelaksanaan proyek berpotensi besar menimbulkan konflik dengan masyarakat. Serta berdampak pada lingkungan, seperti rencana pembangunan pembangkit listrik sebesar 35 ribu megawatt yang menggunakan batubara. Padahal di Kalimantan Timur sudah banyak anak yang meninggal di lubang tambang bekas galian batubara.

Kebijakan ekspansi industri perkebunan seperti tebu dan kelapa sawit juga semakin menyasar ke wilayah Papua. Perluasan industri itu diyakini akan menambah jumlah konflik agraria. Walhi mencatat selama 2016 konflik tertinggi terjadi di sektor perkebunan yakni 163 kasus, kemudian properti 117 kasus, infrastruktur 100 kasus, kehutanan 25 kasus dan tambang 21 kasus. Reforma agraria yang dijalankan pemerintah jauh dari harapan karena program itu sekedar bagi-bagi sertifikat tanah kepada warga, tidak ditujukan untuk menyelesaian konflik agraria.

“Kalau pemerintah serius jalankan reforma agraria maka tuntaskan seluruh konflik agraria dan jangan kriminalisasi petani,” tukas perempuan yang disapa Alin itu.

Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, secara pribadi menilai dalam tiga tahun terakhir pemerintah memenuhi sebagian kewajibannya untuk penegakan dan pemenuhan HAM. Untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, ada sedikit kemajuan dari yang tadinya hanya berkirim surat, sekarang Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sudah melakukan dialog. Kedua lembaga sepakat mendalami hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus pelanggaran HAM berat.

Pemerintah juga mau berdialog dengan para korban dan penyintas tragedi 1965-1966 melalui kegiatan Simposium. Ada pula inisiatif pemerintah daerah untuk memenuhi hak korban pelanggaran HAM berat. Sayangnya kemajuan itu tidak dibarengi dengan putusan MA terhadap perkara korban 1965, Nani Nuraini yang menuntut pemulihan nama baik. “Untuk kasus pelanggaran HAM berat lain seperti Wamena dan Wasior, saat ini Kejaksaan masih dalam proses melengkapi bukti,” papar Sandra.

Menurut Sandra persoalan yang dihadapi pemerintah untuk penegakan dan pemenuhan HAM diantaranya sikap antar lembaga pemerintah yang belum sepandangan. Misalnya, dalam kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial, masih ada benturan soal ego sektoral. Pada praktiknya tanah yang menjadi objek reforma agraria yakni yang HGU nya habis. Namun, hanya segelintir izin HGU yang tidak diperpanjang kemudian dibagikan kepada masyarakat melalui reforma agraria.

(Baca juga: Terindikasi Mengancam HAM, Pemerintah Perlu Tinjau Ulang CEPA).

Oleh karenanya program reforma agraria yang digulirkan pemerintah butuh peran aktif semua kalangan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sandra menyebut ada praktik baik reforma agraria di Sigi, Sulawesi Tengah. Kebijakan reforma agraria yang digulirkan pemerintah pusat disambut pemerintah daerah. Bupati Sigi tidak memperpanjang sebagian HGU karena ditujukan untuk reforma agraria.

Untuk hutan adat, Sandra mengapresiasi karena ini kali pertama pemerintah Indonesia memberi pengakuan terhadap hutan adat. Sayangnya, target pemerintah untuk hutan adat tidak besar, hanya 13 ribu hektar.
Tags:

Berita Terkait