Mengenal Istilah Persona Non Grata dalam Kasus Pencekalan Pejabat Negara
Berita

Mengenal Istilah Persona Non Grata dalam Kasus Pencekalan Pejabat Negara

Lumrah dilakukan dalam hubungan diplomatik antar-negara. Sebab, hal ini diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 yang telah diratifikasi melalui UU No.1 Tahun 1982.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Belakangan ini media sosial maupun media massa ramai membicarakan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, yang ditolak masuk ke Amerika Serikat. Padahal, Gatot dan rombongan sudah mengantongi visa, undangan resmi dari Panglima Tentara AS, dan dokumen-dokumen lainnya.

Penolakan pejabat suatu negara oleh negara lain bukan hanya terjadi sekali ini saja. Awal tahun 2017 lalu, Menteri Urusan Keluarga dan Kebijakan Sosial Turki, Fatma Betul Sayyan Kaya, dilarang memasuki Kerajaan Belanda. Fatma yang berkunjung ke Rotterdam sehabis lawatannya dari Jerman diultimatum pemerintah Belanda untuk meninggalkan Belanda dalam waktu 1X24 jam.

Sebagai respons, pemerintah Turki melakukan persona non grata terhadap diplomat Belanda yang bertugas di Turki. Tak tanggung-tanggung, kantor Kedubes dan Konsulat Belanda di Turki sempat tutup. Memang, peristiwa pencekalan menteri Turki oleh pemerintah Belanda sempat menaikkan tensi diplomatik kedua negara.

Pada bulan Agustus lalu, Deputi Perdana Menteri Rusia, Dmitry Rogozin, juga dilarang masuk ke wilayah Republik Moldova. Pemerintah Moldova beralasan, Rogozin telah melontarkan komentar penghinaan dalam sebuah wawancara dengan sebuah saluran televisi Rusia. Komentar itu ditujukan terhadap delegasi pemerintah Moldova yang datang ke Rusia.  

Sikap balasan Rusia pun tak berbeda dengan Turki. Setelah pejabatnya ditolak masuk Moldova, Rusia mengusir lima diplomat Moldova yang bertugas di Rusia. Kementerian Luar Negeri Rusia menyerahkan nota terkait pengusiran tersebut langsung kepada pejabat Kedutaan Besar Moldova, Nicolae Miinea. Lima diplomat yang masuk daftar persona non grata diultimatum harus meninggalkan Rusia dalam waktu tiga hari.

(Baca Juga: Hikmahanto: ASEAN Bisa Embargo Ekonomi terhadap Myanmar)

Praktik persona non grata memang lumrah dilakukan dalam hubungan diplomatik antar-negara. Sebab, hal ini diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 yang telah diratifikasi melalui UU No. 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan.

Secara bebas pasal tersebut dapat diartikan bahwa: “Negara penerima boleh setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu Negara pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staff diplomatiknya adalah persona non grata atau bahwa anggota lainnya dari staff misi tidak dapat diterima”.

Terkait insiden pencekalan Panglima TNI, memang pihak AS sudah menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan. Namun, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, permintaan maaf saja tidak cukup. Pihak AS juga harus menjelaskan alasan mengapa Panglima TNI tidak boleh masuk ke AS.

“Meski pemerintah AS saat ini telah memperbolehkan Panglima TNI berkunjung ke AS, namun tidak semudah itu pemerintah Indonesia seharusnya menerima permohonan maaf. Bagi pemerintah saat ini yang dibutuhkan adalah klarifikasi dari pemerintah AS,” katanya kepada hukumonline, Selasa (24/10).

Hikmahanto mengatakan, penjelasan mengenai alasan pencekalan Gatot bukan hanya penting bagi pemerintah Indonesia. Di era keterbukaan informasi saat ini, hal itu juga menjadi hak bagi masyarakat Indonesia. Tanpa klarifikasi, maka akan ada spekulasi di masyarakat dan media di Indonesia atas apa yang menjadi alasan bagi pelarangan.

(Baca Juga: Ini Lawyer yang “Berbahaya” menurut Dubes RI untuk Uni Eropa)

“Spekulasi dapat berkembang secara liar di media sosial dan tidak terbendung. Akibatnya muncul persepsi negatif publik Indonesia terhadap AS, khususnya AS di bawah pemerintahan Donald Trump.  Apalagi, Indonesia akan segera memasuki tahun politik maka spekulasi pelarangan akan menjadi komoditas politik,” tambahnya.

Hikmahanto menjelaskan, memang tidak ada tenggat waktu ideal kapan seharusnya alasan pencekalan itu disampaikan. Namun, ia menuturkan seharusnya hal itu diungkapkan dalam waktu singkat ini. Bila tidak, menurutnya sudah sewajarnya jika pemerintah Indonesia mengambil sikap.

Salah satu sikap yang patut diambil, menurut Hikmahanto adalah mengembalikan diplomat AS beserta seluruh keluarganya untuk kembali ke Amerika. Dalam hukum internasional, hal ini dikenal dengan istilah persona non grata.

Hikmahanto menyimpulkan jika memang upaya persona non grata tidak cukup, pemerintah Indonesia pun bisa memutuskan kerja sama strategis antar kedua negara. “Maka, dalam situasi ini tidak ada pilihan lain bagi AS untuk memberi klarifikasi terkait alasan pencekalan Panglima TNI,” pungkasnya. 


Tags:

Berita Terkait