Sikap Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah
Kolom Arsil

Sikap Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah

Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang mengadili sengketa yang timbul antara Lembaga Pembiayaan dengan debitur/nasabah terkait pelaksanaan perjanjian kredit?

Oleh:
Arsil
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dalam praktik perjanjian pembiayaan konsumen dengan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan, tak jarang saat kreditur melakukan penarikan benda yang menjadi jaminan fidusia atau hak tanggungan dikarenakan pihak debitur melakukan wanprestasi dengan tidak membayar kewajiban angsuran, pihak debitur mengadukan kreditur ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang menjadi pertanyaan hukum, apakah BPSK memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang semacam itu?

 

Secara lebih jelas bisa diilustrasikan seperti ini. A mengajukan kredit motor ke perusahaan finance dengan cicilan Rp1 juta per bulan selama 2 tahun. Perusahaan finance (pihak kreditur) tersebut kemudian menyetujuinya, dengan perjanjian fidusia, di mana jika A wanprestasi melunasi cicilannya 3 bulan berturut-turut maka pihak kreditur akan mengambil motor tersebut dan melelangnya sebagai pelunasan utang. Di bulan kelima s/d kedelapan ternyata A wanprestasi, pihak kreditur kemudian menarik motornya dan melelangnya.

 

Sebelum pelelangan dilakukan, A mengadukan masalah ini ke BPSK setempat. BPSK kemudian memutuskan pihak kreditur telah melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, membatalkan perjanjian kredit motor tersebut, memerintahkan kreditur untuk mengembalikan motornya kepada A dan memerintahkan A untuk melunasi cicilannya.

 

Atas permasalahan hukum ini hingga 2012 Mahkamah Agung (MA) pada umumnya berpandangan bahwa BPSK berwenang mengadili sengketa yang timbul akibat wanprestasi dan eksekusi jaminan sehubungan dengan perjanjian kredit antara lembaga pembiayaan dengan debitur. Pandangan ini terlihat dalam beberapa putusannya, No. 438 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 22 September 2008 (PT Otto Multi Artha vs M), No. 335 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 6 September 2012 (PT Mandiri Tunas Finance vs S) dan No. 589 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 22 November 2012 (PT Sinarmas Multifinance vs ESS).

 

Dalam kasus-kasus tersebut Mahkamah Agung memperkuat putusan pengadilan negeri yang menolak keberatan dari pihak kreditur yang mendalilkan bahwa putusan BPSK yang membatalkan perjanjian kredit antara pihak kreditur dan debitur seharusnya batal demi hukum karena sengketa yang terjadi bukanlah sengketa yang menjadi kewenangan BPSK.

 

Bahkan dalam putusan  No. 267 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012 (Novan Ferdiano vs PT U Finance Indonesia) Mahkamah Agung menilai putusan PN Surakarta No. 149/Pdt.G/BPSK/2011/PN.Ska tanggal 9 November 2011 salah dalam menerapkan hukum, padahal putusan tersebut telah menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang mengadili sengketa yang terjadi tersebut karena hubungan hukum antara Pemohon Keberatan dengan Termohon Keberatan berdasarkan perjanjian fidusia. Dalam pertimbangannya MA justru menguatkan putusan BPSK dan membatalkan putusan PN Surakarta tersebut.

 

Namun sejak akhir 2013 mulai terjadi perubahan pandangan hukum di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh karenanya BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait