KPPU: Sulitnya Melacak Praktik Monopoli di Era Ekonomi Digital
Utama

KPPU: Sulitnya Melacak Praktik Monopoli di Era Ekonomi Digital

Transparansi Beneficial Owner kunci persaingan sehat di era ekonomi digital.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Syarkawi Rauf. Foto: NNP
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Syarkawi Rauf. Foto: NNP

Keberadaan model bisnis seperti perdagangan secara elektronik (e-Commerce) dan layanan keuangan berbasis teknologi (Financial Technology/Fintech) telah mengubah praktik bisnis yang dulu lazim dilakukan. Di tengah masa transisi ternyata muncul kenyataan pahit, salah satu raksasa ritel harus rela gulung tikar karena termakan zaman.

 

Perusahaan-perusahaan ritel satu per satu tumbang yang dimulai dengan penutupan gerai Matahari Department Store sekira September 2017. Tak berselang lama, usaha serupa seperti Ramayana Department Store, Lotus, menyusul Debenhams memilih tutup. Fenomena tersebut tidak dibantah oleh Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M Syarkawi Rauf, sebagai suatu perkembangan bisnis di era digital economy yang berkembang sangat pesat.

 

“Ini persoalan strategi bisnis apakah tetap mau bertahan dengan model konvensional atau model baru. Di mana pun yang online dan offline tetap bisa eksis bersama, misalnya Amazon dulu online sekarang juga kembangkan fisik. Di Jepang juga seperti itu, distribusi pangan juga ada dua, tapi (memang) pangsa pasar konvensional mulai menyusut,” kata Syarkawi saat diwawancara hukumonline di Jakarta, Kamis (26/10).

 

Begitupula regulator juga harus mengubah pola pikir dalam melakukan penegakan hukum lantaran model bisnis berbeda dari sebelumnya. Menurutnya, tantangan otoritas persaingan usaha di seluruh dunia ke depan adalah bagaimana mendefinisikan arti monopoli itu sendiri. Sebab, di era digital regulator akan kesulitan terutama ketika menentukan di mana wilayah dan pasar tempat pelaku usaha bersaing.

 

Ambil contoh e-Commerce, pelaku usaha dari berbagai wilayah Indonesia akan berhadapan langsung dengan pelaku usaha luar negeri di pasar domestik. Syarkawi bilang persaingan menjadi tidak mengenal batasan geografis, KPPU juga semakin sulit mendefinisikan perilaku dan praktik yang dinilai anti persaingan dan monopoli. Makanya, KPPU mendorong definisi pelaku usaha dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bisa direvisi.

 

“KPPU usul kalau ada kartel di Singapura tapi bisnisnya berdampak ke Indonesia, (bisa) panggil pelaku di Singapura karena merugikan ekonomi kita. Kita usulkan di amandemen UU Persaingan Usaha. Tidak bisa lagi berpikir hukum yang konvensional,” kata Syarkawi.

 

Selain itu, aksi korporasi berupa merger dan akuisisi yang menciptakan integrasi vertikal dikhawatirkan membuat struktur pasar menjadi oligopoli. Kondisi pasar yang hanya dikuasai beberapa pelaku usaha cenderung menciptakan praktik monopoli yang kuat, seperti kartel dan lain-lain. Untungnya, pemerintah setuju revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 memberi kewenangan KPPU mengawasi merger dan akuisisi lintas negara. Kewenangan itu sangat penting agar otoritas bisa melindungi pelaku usaha domestik dari ‘akal-akalan’ akuisisi yang sengaja untuk mematikan pelaku usaha.

Tags:

Berita Terkait