​​​​​​​Sebuah Pemikiran Tentang Kompensasi Korban Kejahatan
Kolom Arsil

​​​​​​​Sebuah Pemikiran Tentang Kompensasi Korban Kejahatan

​​​​​​​Pembebanan ganti kerugian terhadap pelaku memang wajar, namun masalahnya prosesnya tentu tidak sebentar.

Oleh:
Arsil
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Beberapa waktu yang lalu pemerintah menerbitkan PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. PP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Harapannya dengan terbitnya PP ini maka anak yang menjadi korban tindak pidana bisa mendapatkan restitusi (ganti rugi) dari pelaku.

 

Sekilas membaca PP ini terkesan memberikan kejelasan prosedur bagi korban kejahatan, dalam hal ini anak atau keluarganya yang menjadi korban kejahatan. Namun secara garis besar menurut Saya sebenarnya PP ini tetap menyimpan masalah. Permasalahan tersebut yaitu restitusi atau ganti rugi ini dibebankan kepada pelaku.

 

Pembebanan ganti kerugian terhadap pelaku memang wajar, namun masalahnya prosesnya tentu tidak sebentar. Dan yang paling penting, pelaku kejahatan itu sendiri tentu harus terbukti bersalah dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

Mari kita bayangkan kapan sang anak yang menjadi korban baru bisa mendapatkan restitusi tersebut. Pertama, pelakunya tentu harus berhasil ditangkap dulu oleh penegak hukum. Setelah itu diproses di pengadilan negeri hingga di putus. Setelah diputus di PN tentu terbuka kemungkinan baik pelaku itu sendiri (terdakwa) maupun jaksa penuntut umum mengajukan banding. Jika permohonan banding diajukan tentu putusan PN tersebut menjadi belum inkracht. Setelah banding masih ada kasasi. Berapa lama proses ini akan terjadi?

 

Jika akhirnya putusannya inkracht pun masalah belum selesai. Masalah berikutnya tentu menunggu salinan putusan. Ini juga biasanya memakan waktu yang cukup lama. Pengiriman salinan putusan ini dari sejak diputus Mahkamah Agung (MA) hingga dikirimkan ke pengadilan negeri asal bisa memakan waktu berbulan-bulan.

 

Masalah sudah berakhir? Belum. Masalah selanjutnya adalah eksekusi. Mengingat restitusi dibebankan pada pelaku maka tentu menjadi masalah jika pelaku ternyata tidak mampu, atau tidak mau melaksanakan eksekusi. Apa yang bisa dilakukan?

 

Masalah akan semakin rumit jika saat mau mengeksekusi restitusi tersebut sang pelaku masih ada di penjara atau dijatuhi pidana mati. Mau tambah rumit lagi? Bagaimana jika pelaku tewas saat dikejar oleh polisi?

Tags:

Berita Terkait