Kiprah SSEK dan ‘Warisan’ Advokat Asing
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

Kiprah SSEK dan ‘Warisan’ Advokat Asing

Tiga modal sukses SSEK yakni, delivery ontime (pekerjaan tepat waktu), teliti, reliable (bisa dipercaya).

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Empat Pendiri SSEK. (Edit HGW).
Empat Pendiri SSEK. (Edit HGW).

Memasuki usia seperempat abad, Kantor Hukum Soewito Suhardiman Eddymurthy Kardono (SSEK) hingga kini masih tetap eksis melayani jasa konsultan hukum di bidang hukum korporasi (corporate law firm). Eksistensi Kantor Hukum SSEK  yang berdiri pada 1992 ini, tentu tidak bisa lepas dari sejarah Kantor Advokat Mochtar, Karuwin, Komar (MKK) yang berdiri sejak 1971.

 

Sebab, para pendiri firma hukum SSEK yakni Dyah Soewito, Retty Anwar Suhardiman, Ira Andamara Eddymurthy, Agustina Supriyani Kardono, pernah beberapa tahun menjadi lawyers di MKK hingga akhirnya mereka “berpisah” pada 1992. Saat itu, terutama Dyah masih berusia 38 tahun, sementara Ira masih berusia 32 tahun.  

 

Alasan mereka mundur dari MKK lebih disebabkan ingin mengembangkan diri karena usia mereka masih muda-muda. Kala itu, kebetulan Kantor Hukum MKK menerapkan sistem close partnership, sehingga mereka tidak punya harapan untuk menjadi partner di MKK. Baca Juga: Menelusuri Jejak Kantor Advokat Modern Generasi Pertama

 

“Mundurnya kita bukan ada selisih paham atau pecah kongsi, semata ingin berkembang karena usia masih muda-muda, cita-cita menggebu-gebu, tentu kita berpikir, seolah-olah kita masih karyawan terus. Padahal kita punya kemampuan dan jalan, kenapa kita nggak bikin kantor sendiri?” ujar salah satu partner pendiri SSEK, Dyah Soewito saat berbincang dengan Hukumonline di kantornya, Mayapada Tower Lantai 14, Jalan Jenderal Soedirman Jakarta, akhir Oktober lalu.

 

Dyah mengaku bergabung dengan MKK sekitar tahun 1977. Sedangkan Ira bergabung di MKK pada 1984. “Saya 14 tahun bergabung di MKK, paling lama (senior) daripada tiga rekan lain, tidak ada regenerasi untuk menjadi partner baru. Kita mengundurkan diri dengan baik-baik yang sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, Pak Komar (pendiri MKK) sempat agak ‘menahan’ dengan menyarankan agar kita membuat semacam kantor cabang MKK,” ujar Dyah menirukan ucapan Komar saat itu.

 

“Yang pasti, Pak Mochtar, Pak Komar, selalu menjadi panutan bagi kami. Sampai saat ini kita masih menjaga hubungan baik dengan MKK, salah satunya dengan advokat senior MKK Ariani Nugraha,” kenang alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1977) kelahiran Yogyakarta 14 September 1953 ini.              

 

Lalu, atas inisiatif Dyah, keempat nama tersebut sepakat mendirikan sebuah law firm bernama SSEK (Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono). Tepatnya, pada 19 Agustus 1992 resmi SSEK berdiri dalam bentuk persekutuan (firma) yang dituangkan dalam akta notaris. “Dari awal pendirian SSEK menerapkan open partner. Kita belajar pengalaman sebelumnya, tapi saat kita sudah mundur, MKK kemudian menerapkan open partner,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait