Strategi Australia, Jepang, dan Jerman Rampingkan Regulasi
Berita

Strategi Australia, Jepang, dan Jerman Rampingkan Regulasi

Regulasi perlu terus dievaluasi agar tetap berguna untuk memfasilitasi tujuan negara.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Harjono (paling kiri) dan pembicara lain dalam Konferensi Hukum Tata Negara Nasional ke-4. Foto: NEE
Harjono (paling kiri) dan pembicara lain dalam Konferensi Hukum Tata Negara Nasional ke-4. Foto: NEE

Apakah banyaknya regulasi sungguh suatu masalah dalam kehidupan berbangsa bernegara? Pertanyaan ini muncul jika mencermati pernyataan dari mantan Hakim Konstitusi yang tengah menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), Harjono dalam pemaparannya di Konferensi Hukum Tata Negara Nasional ke-4 (KNHTN 4) Sabtu (11/11) kemarin.

 

“Banyak pun kalau itu memfasilitasi tidak jadi masalah, tapi yang masalah itu kalau banyak kemudian menghalangi tujuannya,” kata Harjono.

 

Dalam acara ini, sejumlah ahli hukum dari berbagai negara turut diundang. Para ahli hukum tersebut diminta untuk memberikan pengalaman mereka dalam merampingkan regulasi. Ada tiga ahli hukum di tiga negara seperti Australia, Jepang dan Jerman yang berbagi strategi mereka.

 

Simon Butt, Associate DirectorCentre for Asian and Pacific Law the University of Sydney(CAPLUS) menjelaskan, ada dua strategi yang biasa digunakan untuk menata regulasi di Australia. Pertama, schedule calling di mana dilakukan pencabutan regulasi secara terjadwal. Di Australia tiap tahun dilakukan pencabutan terjadwal oleh semua badan yang membuat regulasi itu sendiri di mana dianggap sebagai prestasi jika suatu instansi bisa mencabut sebanyak mungkin regulasi yang telah dibuat.

 

Pencabutan ini dilakukan teratur dengan menetapkan tanggal untuk meninjau ulang regulasi yang ada. “Tahun 2015 ada sekitar 1000 regulasi yang dibatalkan oleh badan yang membuatnya di Australia,” katanya.

 

(Baca Juga: Menkumham: Mengatasi Obesitas Regulasi Jadi Prioritas Pemerintah)

 

Kedua, strategi sunset dalam pembuatan regulasi. Profesor yang memiliki spesialisasi hukum Indonesia ini menjelaskan bahwa ada ketentuan di Australia di mana suatu produk regulasi pada awalnya hanya berlaku untuk tujuh sampai 10 tahun. “Kalau tidak diperpanjang, otomatis tidak berlaku lagi,” katanya.

 

Strategi lainnya diungkapkan oleh Jepang. Yuzuru Shimada, profesor hukum dari Nagoya University menjelaskan, dalam pembentukan regulasi, otoritas Jepang bisa mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa suatu regulasi akan dievaluasi berkala misalnya lima tahun sekali. “Setiap batas waktunya habis, dicek lagi, direview, diuji lagi, setiap lima tahun direvisi, apakah masih layak atau tidak,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait