Cita-Cita Sang Pendiri yang Ingin Firma Hukum 'Hidup' Ratusan Tahun
Sejarah Kantor Advokat Indonesia:

Cita-Cita Sang Pendiri yang Ingin Firma Hukum 'Hidup' Ratusan Tahun

Institusi law firm akan tetap "hidup" meski founding partner-nya pensiun atau meninggal dunia.

Oleh:
Novrieza Rahmi/Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dahulu, banyak firma hukum Indonesia berjenis sole proprietor (praktisi tunggal) dan fokus pada bidang litigasi. Hanya segelintir dari mereka yang menerapkan sistem kemitraan (partnership) dan merambah bidang nonlitigasi. Apabila di Inggris, tipe advokat-advokat nonlitigasi seperti ini biasa disebut sebagai solicitor.

 

Memasuki era 1960 hingga 1970-an, mulai bermunculan beberapa firma hukum model partnership yang tidak hanya menguasai litigasi, melainkan juga nonlitigasi. Sebut saja, firma hukum Ali Budiarjo, Nugroho, Reskodiputro (ABNR) dan Mochtar, Karuwin, Komar (MKK) yang masing-masing berdiri pada 1967 dan 1971.

 

Selain dua firma hukum tersebut, ada pula Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA) yang berdiri pada 1969. Meski awalnya berdiri dengan partner tunggal, ABNA akhirnya mendirikan divisi korporasi bersama Timbul Thomas Lubis dan Sri Indrastuti Hadiputranto yang diberi nama Nasution, Lubis, Hadiputranto (NLH).

 

Sayang, NLH tak berumur panjang. Satu per satu associate NLH ke luar dan mendirikan kantor hukum sendiri. Dua partner NLH, Timbul dan Sri Indrastuti atau akrab disapa Tuti juga ke luar, kemudian bergabung dengan Mohamed Idwan Ganie dan Arief Tarunakarya Surowidjojo mendirikan Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS).

 

NLH pun tak lagi eksis. Bukan hanya karena kepergian para partner dan associate-nya, tetapi juga karena kepergian sebagian besar staf NLH yang ikut "hijrah" ke LHGS. Sejak awal, para pendiri LHGS ingin membuat firma hukum besar. Namun, fakta berkata lain. LHGS juga mengalami perpecahan pada akhir 1980-an.

 

Tuti Hadiputranto bersama Tuti Dewi Hadinoto mendirikan Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) dengan menggandeng firma hukum asing, Baker & McKenzie. LHGS pun berubah menjadi Lubis, Ganie, Surowidjojo (LGS). Namun, di balik kegagalan, selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Para pendiri firma hukum itu mulai belajar.

 

Mereka belajar bagaimana firma-firma hukum di luar negeri memiliki umur yang relatif panjang. Bukan hanya sampai puluhan tahun, melainkan sampai ratusan tahun umurnya. Rupanya, salah satu "kunci" adalah dengan menjadikan firma hukum sebagai sebuah institusi. Cita-cita ini pun "bergema" di benak para pendiri firma hukum Indonesia era 1980-an.

Tags:

Berita Terkait