Rencana Kebijakan Penyederhanaan Tarif Listrik, YLKI: Itu Membebani Konsumen
Berita

Rencana Kebijakan Penyederhanaan Tarif Listrik, YLKI: Itu Membebani Konsumen

Penyederhanaan tarif listrik dinilai tidak sejalan dengan kampanye hemat energi dan hemat listrik yang dilakukan pemerintah.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Rencana Kebijakan Penyederhanaan Tarif Listrik, YLKI: Itu Membebani Konsumen
Hukumonline

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan menyederhanakan sistem tarif listrik dengan daya minimal 5.500 VA membuat masyarakat konsumen listrik terbebani yang dikhawatirkan melambungkan tagihan listrik. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, walau Kementerian ESDM dan bahkan Dirut PT PLN (Persero) menjamin bahwa kebijakan ini bukan merupakan kenaikan tarif, namun jaminan itu masih sangat meragukan jika dilihat dari beberapa indikator.

 

Pertama, benar bahwa rupiah per kWh-nya sama dan tanpa abonemen, tetapi pemerintah menggunakan formula baru yakni pemakaian minimal. Dari formulasi pemakaian minimal inilah tagihan konsumen berpotensi melambung. “Contoh pemakaian minimal untuk 1.300 VA adalah 88 kWh (Rp129.000), sedangkan 5.500 VA pemakaian minimal 220 kWh, atau sekitar Rp320.800,” kata Tulus seperti dikutip Antara, Kamis (16/11).

 

Kedua, perubahan daya yang signifikan akan mengakibatkan konsumen harus mengganti instalasi dalam rumah. Artinya, kata Tulus, konsumen harus merogoh kocek untuk hal tersebut. Tanpa mengganti instalasi maka membahayakan bagi instalasi konsumen. Konsumen juga harus melakukan Sertifikasi Laik Operasi (SLO) ulang dan itu dibayar konsumen, dan biaya SLO untuk golongan 5.500 jauh lebih mahal.

 

"Daripada menyederhanakan tarif listrik, sebaiknya pemerintah mempercepat rasio elektrifikasi ke seluruh pelosok daerah, terutama bagian Indonesia timur yang, saat ini masih rendah dan memperbaiki keandalan listrik di daerah yang masih sering padam," katanya.

 

Ketiga, penyederhanaan tarif ini akan mengkibatkan perilaku konsumtif/boros dari konsumen listrik. Akibat aliran listrik yang loss stroom, konsumen berpotensi tak terkendali dalam menggunakan energi listriknya. “Dan hal ini tidak sejalan dengan kampanye hemat energi dan hemat listrik yang dilakukan pemerintah,” ujar Tulus.

 

(Baca Juga: Simak Penjelasan Kementerian ESDM Terkait Polemik Tarif Listrik)

 

Menurut Tulus, dari sisi hulu kebijakan penyederhaan tarif lebih dikarenakan over supply energi listrik. Akibat pemerintah getol membangun pembangkit 35.000 MW, PT PLN mengalami over supply energi listrik. Apalagi diduga PT PLN terjerat take or pay listrik swasta (IPP). Atas dampak over supply dan take or pay dari IPP itulah kemudian bebannya ditransfer ke konsumen rumah tangga.

 

“Upaya untuk meningkatkan penjualan listrik pada konsumen juga berpotensi tidak tercapai mengingat daya beli konsumen yang masih lemah. Apalagi faktanya konsumsi energi listrik di Indonesia terbukti masih rendah, rata-rata hanya 630-an kWh per tahun per kapita,” jelas Tulus.

Tags:

Berita Terkait