Menyoal Cacat Bawaan BPJS Kesehatan
Kolom

Menyoal Cacat Bawaan BPJS Kesehatan

Ketidakjelasan yang berasal dari cacat bawaan BPJS ini harus segera dicarikan solusinya sebelum semuanya terlambat, demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat.

Oleh:
Roziqin
Bacaan 2 Menit
Roziqin. Foto: Istimewa
Roziqin. Foto: Istimewa

Kisah defisit Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan) kembali terulang. Setelah sebelumnya pada 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp3,3 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp5,7 triliun pada 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016, pada jelang akhir tahun ini Dewan Pengawas BPJS Kesehatan melapor ke Wakil Presiden Jusuf Kalla defisit telah mencapai Rp9 triliun.

 

Kisah defisit ini tidak terjadi saat program jaminan kesehatan dikelola oleh PT Askes (Persero), yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan PT Askes (Persero) bisa membagikan dividen, meski dalam jumlah tidak terlalu besar. Mengapa pasca program BPJS terjadi defisit? Ada beberapa analisis penyebab yang disampaikan, antara lain timpangnya antara premi yang diterima dengan besarnya biaya kesehatan yang dikeluarkan, adanya manajemen yang salah kelola, dan sebagainya. Namun demikian, penulis melihat sebab utamanya ada pada cacat bawaan BPJS yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan menyebabkan berbagai ketidakjelasan.

 

Pertama, adanya ketidakjelasan badan hukum BPJS. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, BPJS dinyatakan sebagai badan hukum publik, dan terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan teori, badan hukum antara lain dibedakan atas badan hukum publik dan privat. Badan hukum publik dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, badan hukum privat dibentuk oleh para pihak berdasarkan hukum privat.

 

Sejauh penelusuran penulis, hanya BPJS yang dinyatakan dengan tegas sebagai badan hukum publik, meskipun banyak ragam badan hukum publik, mulai dari lembaga negara (pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian), BUMN/D, maupun Badan Layanan Umum (BLU).

 

Melalui UU Nomor 24 Tahun 2011, program jaminan kesehatan diubah menjadi BPJS Kesehatan, sehingga PT Askes (Persero) dibubarkan tanpa likuidasi, dan berubah menjadi BPJS Kesehatan. Untuk pertama kali, Direksi dan Dewan Pengawas PT Askes menjadi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

 

UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS sebagai dasar berdirinya BPJS, tidak mengatur apakah BPJS termasuk lembaga negara, BUMN, atau BLU. Selama ini BPJS tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan mengenai lembaga negara, BUMN maupun BLU.

 

Karakteristik BPJS berdasarkan UU BPJS mirip dengan lembaga negara karena memiliki kewenangan membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, bertanggung jawab langsung kepada presiden, serta tidak dapat dipailitkan dan dibubarkan. Di sisi lain, ia juga mirip dengan BUMN/D karena memiliki direksi dan pengawas, gaji dan fasilitas standar BUMN, memberikan pelayanan ke masyarakat dengan menyaratkan pembayaran iuran, serta mudah mendapat suntikan dana dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) atau subsidi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait