Kritik Atas Judicial Review Setnov
Utama

Kritik Atas Judicial Review Setnov

Mulai sistematika permohonan, legal standing, kerugian konstitusional, alasan konstitusional, hingga posita dan petitum permohonan yang tidak sinkron.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi saat menyampaikan permohonannya di ruang sidang MK, Rabu (29/11). Foto: AID
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi saat menyampaikan permohonannya di ruang sidang MK, Rabu (29/11). Foto: AID

Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi (judicial review) Pasal 12 ayat (1) huruf b dan Pasal 46 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kewenangan KPK untuk mencekal dan prosedur pemeriksaan tersangka berlaku ketentuan umum yang dimohonkan Setya Novanto (Setnov). Sidang pendahuluan ini diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo beranggotakan Maria Farida Indrati dan Saldi Isra.

 

Pemohon menilai dua pasal itu bertentangan dengan Pasal 20A huruf (3) UUD 1945 dan Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 terkait hak imunitas. Putusan MK itu menyangkut pengujian Pasal 224 ayat (5) dan Pasal 245 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2004 tentang MD3 terkait hak imunitas DPR yang dimaknai, persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden.

 

Dalam petitum permohonannya, Setnov melalui kuasa hukum Fredrich Yunadi, meminta MK memberi tafsir inkonstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK sepanjang frasa “memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” tanpa terlebih dahulu ditetapkan status seseorang tersebut telah dalam proses penyidikan tindak pidana bertentangan UUD 1945.

 

Sementara Pasal 46 ayat (1) dan 2 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam UU lain tidak berlaku tanpa seizin tertulis dari presiden.

 

Usai penyampaian pokok permohonannya, Majelis mempertanyakan mulai sistematika permohonan, legal standing, kewenangan MK, posita dan hingga petitumnya. Misalnya, Fredrich Yunadi tidak menjelaskan secara konkrit terkait kerugian konstitusional pemohon. Permohonan ini pun dinilai seharusnya tidak memiliki kesimpulan, tetapi disimpulkan dalam petitumnya. Kritikan ini disampaikan Suhartoyo dalam persidangan.

 

“Apa benar Pasal 46 ayat (2) UU KPK harus dihilangkan? Kalau dihilangkan nanti tidak ada hak-hak tersangka yang dilindungi UU apabila dikabulkan. Sebab, pasal a quo ini tidak hanya menyangkut persoalan klien Bapak, tetapi juga menyangkut hak orang banyak,” ujar Suhartoyo di ruang sidang MK, Rabu (29/11/2017). (Baca Juga: Mangkir Panggilan, Setnov Malah ‘Gugat’ UU KPK ke MK)

 

Untuk itu, dia meminta pemohon untuk memikirkan kembali pasal yang dimohonkan. “Bisa saja, saat ini Anda menjadi kuasa hukum Setnov yang terganggu dengan adanya pasal itu, tetapi ke depannya saat menjadi kuasa hukum orang lain dan membutuhkan pasal ini, bagaimana jadinya?”

Tags:

Berita Terkait