Untung Rugi Ketika Antam, Bukit Asam, dan Timah ‘Melepas’ Status Persero
Holding BUMN Tambang

Untung Rugi Ketika Antam, Bukit Asam, dan Timah ‘Melepas’ Status Persero

Di satu sisi perusahaan akan lebih ‘lentur’ ketika melakukan aksi korporasi, namun hapusnya status Persero yang disandang tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan sebelumnya dikhawatirkan membuat posisi ketiganya tidak menguntungkan salah satunya, terkait isu privatisasi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
PT Antam (Persero) Tbk (ANTM), PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), dan PT Timah (Persero) Tbk (TINS) resmi menjadi anggota holding BUMN industri pertambangan setelah rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dilaksanakan ketiganya. Foto: NNP
PT Antam (Persero) Tbk (ANTM), PT Bukit Asam (Persero) Tbk (PTBA), dan PT Timah (Persero) Tbk (TINS) resmi menjadi anggota holding BUMN industri pertambangan setelah rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dilaksanakan ketiganya. Foto: NNP

PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk ‘melepas’ status Persero pasca ketiga perusahaan bergabung menjadi anggota Holding BUMN Industri Pertambangan. Dilihat dari kacamata hukum dan bisnis, hapusnya status Persero tersebut punya dua konsekuensi yang menguntungkan pemerintah, pada saat bersamaan berpotensi merugikan pemerintah.

 

Peneliti dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa hilangnya status Persero di satu sisi membuat perusahaan lebih mudah melakukan aksi korporasi (corporate action) dibandingkan ketika ketiga perusahaan tersebut masih menyandang statu ‘perusahaan plat merah’. Namun, keluwesan perusahaan dalam melakukan aksi korporasi setelah status Persero hilang menjadi riskan lantaran prosesnya mengurangi kewenangan pemerintah dan DPR dalam hal pengawasan.

 

“Perubahan status [tidak menjadi Persero] cukup berbahaya. Model seperti itu, pengawasan DPR bisa berkurang dan kontrol pemerintah akan merenggang,” kata Bhima ketika diwawancarai, Rabu (6/12) di Jakarta.

 

Bhima melanjutkan, ‘lenturnya’ aksi korporasi membuat induk Holding yakni PT Inalum (Persero) lebih mudah ketika mencari pendanaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dimandatkan pemerintah kepada Holding BUMN Industri Pertambangan. Namun, Bhima khawatir jika penugasan yang dimandatkan pemerintah kepada anggota Holding membuat beban ketiganya semakin berat dan berujung pada ‘dikorbankannya’ tiga anggota Holding BUMN tersebut.

 

Maksud ‘dikorbankannya’ anggota Holding BUMN, lanjut Bhima, yakni ketika misalnya tiga perusahaan tersebut harus menerima mandat dari proyek yang ditugaskan pemerintah kepada Holding BUMN Industri Pertambangan dengan cara menerbitkan saham baru (right issue) ataupun surat utang (obligasi). Bila utang tersebut ternyata tidak mampu ditanggung oleh Holding BUMN, Bhima khawatir PT Inalum (Persero) akan ‘mengorbankan’ satu atau ketiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan.

 

“Induk [PT Inalum (Persero) bisa bilang misalnya utang sudah terlalu banyak maka dia bisa bilang anak usaha saja dikorbanin untuk terbitkan saham baru. Lalu yang menanggung kalau collapse, anak usaha itu tadi.  Itu kemarin terjadi di Pelindo II dengan JICT nya,” kata Bhima.

 

Sekedar tahu, penerbitan surat utang (global bond) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II senilai US$ 1,58 milar atau Rp 21 triliun yang rencananya dipakai membiayai sejumlah pelabuhan seperti Pelabuhan Kalibaru (NPCT 1), Pelabuhan Sorong, Pelabuhan Kijing, Pelabuhan Tanjung Carat, dan Car Terminal membuat PT Jakarta International Container Terminal (JICT) ikut menanggung beban utang yang bunganya harus dibayar Rp 1,2 triliun per tahun.

Tags:

Berita Terkait