OJK Belum Temukan Payung Hukum yang Pas untuk Bitcoin
Berita

OJK Belum Temukan Payung Hukum yang Pas untuk Bitcoin

Sementara ini OJK menyerahkan mekanismenya kepada pasar.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha mencari payung hukum untuk mata uang digital (cryptocurrency) khususnya Bitcoin. Pasalnya, OJK melihat pasar Bitcoin di Indonesia sudah terbentuk dan mulai membesar.

 

Direktur Inovasi Keuangan Digital OJK, Fithri Hadi mengatakan, sampai saat ini belum ada satupun regulasi yang tepat untuk dijadikan payung hukum Bitcoin. Hal tersebut lantaran OJK masih kesulitan mendefinisikan Bitcoin itu sendiri apakah alat tukar untuk pembayaran, komoditas, maupun instrumen investasi. Dari ketiga jenis diatas, pihak OJK sementara menyimpulkan Bitcoin bukan termasuk ketiga jenis tersebut.

 

“Sampai sekarang belum ada yang cocok ‘dudukannya’. Ini aset baru dunia digital. Disebut komoditas mereka ngga cocok, Bitcoin ini aset digital yang ada di server. Apakah ini uang? Tidak. Ketiga, apakah produk yang ada di area investasi? Kami tanya ke expert, underlying tidak ada. Jadi, susah memasukan ke dalam tiga jenis tadi,” kata Hadi dalam diskusi yang digelar Pas FM di Jakarta, Rabu (13/12).

 

Namun, OJK tidak menutup mata bahwa pasar Bitcoin sudah terbentuk. Ada beberapa pasar Bitcoin yang eksis di Indonesia. Hadi mengatakan, regulator mengamati pembentukan harga dalam pasar terbentuk layaknya pasar, yakni bergantung pada aspek permintaan dan penawaran.

 

Selain itu, aktivitas yang terjadi di pasar Bitcoin terdiri dari trading, kliring dan settlement. Transaksinya sendiri lintas negara. Namun, OJK tidak mengetahui secara pasti siapa penerbit pertama Bitcoin lantaran diduga terbentuk secara alamiah dalam pasar.

 

(Baca Juga: Imam Subarkah: BI Punya Regulasi yang Larang Penggunaan Bitcoin)

 

Hadi melanjutkan, ada pemikiran di kalangan internal OJK bahwa Bitcoin merupakan produk masa depan yang tumbuh berdasarkan permintaan dan penawaran. Karena transaksi itu terjadi secara bilateral, kedepan bukan tidak mungkin hadirnya Bitcoin mereduksi kehadiran regulator karena para pihak saling percaya melakukan transaksi. Namun, Hadi menegaskan pemikiran tersebut berkembang di internal dan bukan menjadi sikap OJK melihat fenomena Bitcoin saat ini.

 

“Kalau Bitcoin sendiri [katakanlah] aset keuangan digital. Tapi kalau mau didudukan dalam regulasi, harus jelas hierarkinya. Kalau kita petakan apakah ini komuditas, efek, uang, mau tidak mau kita petakan ke UU yang ada, ternyata tidak ada yang match. Kalau mau, harus ada UU baru dan itu agak panjang, ini tapi sekedar berandai-andai,” kata Hadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait