Soal Zina & ‘Mahkota’ MK Oleh: Reza Fikri Febriansyah*)
Kolom

Soal Zina & ‘Mahkota’ MK Oleh: Reza Fikri Febriansyah*)

Proses persidangan perkara a quo setidaknya memberikan dua pelajaran penting bagi bangsa Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Reza Fikri Febriansyah. Foto: Dokumen Pribadi.
Reza Fikri Febriansyah. Foto: Dokumen Pribadi.

Perkara uji materi Pasal 284, 285, dan 292 KUHP boleh jadi merupakan salah satu perkara monumental sekaligus kontroversial sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan yang memakan waktu lebih dari satu setengah tahun menunjukkan betapa MK memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam memutus perkara serta menjadi simbol betapa sengitnya pertarungan paradigma dalam perkara a quo. Hal ini dapat dilihat dari dipertimbangkannya pendapat puluhan pihak terkait langsung dan tidak langsung serta pendapat puluhan ahli, baik ahli hukum maupun para ahli dari bidang non-hukum. Hasil akhir perkara ini adalah amar putusan bahwa MK “menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya” dengan 4 (empat) orang hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

 

Putusan MK dengan hasil akhir 5:4 selalu menarik untuk didiskusikan secara lebih mendalam sebab hal itu menunjukkan adanya proses dialektika yang cukup sengit di antara 9 (sembilan) penjaga konstitusi, baik terkait substansi perkara maupun terkait batas-batas kewenangan MK dan yang lebih menariknya lagi dalam Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tersebut, Ketua dan Wakil Ketua MK secara bersamaan berada dalam barisan minoritas bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Aswanto.

 

Proses persidangan perkara a quo setidaknya memberikan 2 (dua) pelajaran penting bagi bangsa Indonesia, yakni: 1). tentang bagaimana dan untuk apa kita harus selalu berdialektika tentang nilai-nilai hukum dan moral dalam menjalani hidup bersama sebagai suatu bangsa berdasarkan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945; dan 2). MK berhasil mengingatkan kita semua bahwa ada persoalan hukum yang juga tidak kalah penting dari sekadar isu populer pemberantasan tindak pidana korupsi dan hiruk-pikuk soal kelembagaan KPK.

 

Perkara a quo pada intinya berkutat pada persoalan bagaimana Indonesia sebagai “negara hukum yang berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa” menentukan konsep dan ruang lingkup zina, perkosaan, dan hubungan seksual sejenis (homoseksual) dalam sistem hukum pidananya.

 

Putusan MK a quo sangat menarik dan tentu akan sangat signifkan pengaruhnya bagi perkembangan hukum pidana Indonesia di masa mendatang, sebab soal zina, perkosaan, dan hubungan seksual sejenis (homoseksual) saat ini juga sedang menjadi isu krusial dalam pembahasan RUU KUHP yang sedang berlangsung antara Pemerintah dengan DPR.

 

Penulis bersyukur dan memberikan apresiasi bahwa dalam pertimbangan hukum (ratio decidendi) putusan a quo, MK secara eksplisit menegaskan tidak menolak gagasan pembaruan terhadap KUHP (khususnya pasal-pasal a quo) yang diajukan para pemohon, namun MK berpendapat bahwa hal itu sepenuhnya merupakan open legal policy pembentuk undang-undang.

 

Oleh karena itu, pesan konstitusi yang disampaikan MK kepada pembentuk undang-undang melalui putusan a quo harus ditangkap secara sempurna oleh para pembentuk undang-undang, khususnya dalam proses pembahasan RUU KUHP yang hingga kini masih berlangsung.

Tags:

Berita Terkait