Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia
Utama

Ius Constitutum dan Ius Constituendum Pengaturan Aborsi di Indonesia

Rumusan pengaturan aborsi dalam RUU KUHP dinilai kaku dan berpotensi menyasar banyak orang, termasuk korban perkosaan. UU Kesehatan sudah mengatur pengecualian.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengaturan aborsi dalam RUU KUHP. Ilustrator: HGW
Ilustrasi pengaturan aborsi dalam RUU KUHP. Ilustrator: HGW

Kepolisian Daerah Sumatera Selatan berhasil membongkar praktek pengguguran kandungan alias aborsi di sebuah klinik di Palembang, awal Desember 2017. Polisi menetapkan WG, dokter yang diduga membantu melakukan aborsi itu, dan perempuan yang diduga melakukan aborsi, sebagai tersangka.

 

WG dan pasiennya, M, bukanlah yang pertama terjerat kasus hukum gara-gara kasus aborsi. Aturan tentang aborsi sudah ada sejak zaman Belanda sehingga sudah sering dipakai oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku. Pengadilan Negeri Rangkasbitung misalnya pernah menghukum seorang calon TKI yang menggugurkan kandungan untuk memenuhi persyaratan keberangkatan sebagai tenaga kerja di luar negeri. Majelis hakim menghukum DK, perempuan yang menggugurkan kandungan, selama satu tahun penjara. Selain kedua kasus tersebut, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa kasus aborsi diproses hingga ke pengadilan.

 

Aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Kondisi bayi yang belum hidup di luar kandungan dan kemudian digugurkan itu lazim disebut onvoldragen vrucht.

 

Aborsi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dalam KUHP, hukum positif di Indonesia yang masih berlaku hingga kini (ius constitutum). Pasal 346 KUHP menyebutkan seorang perempuan yang dengan sengaja melakukan pengguguran atau pematian kandungannya, atau menyuruh orang lain melakukannya, diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Selanjutnya Pasal 347 mengancam 12 tahun penjara setiap orang yang melakukan pengguguran kandungan atau pematian kandungan seorang perempuan tanpa persetujuan si perempuan. Jika si perempuan akhirnya meninggal akibat tindakan itu, ancamannya naik menjadi 15 tahun penjara. Dua pasal berikutnya, 348-349, juga mengatur masalah pengguguran kandungan dengan kualifikasi berbeda.

 

(Baca juga: Jerat Pidana Bagi Penjual Obat Aborsi).

 

SR Sianturi, dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Beserta Uraiannya menyebutkan Pasal 346 mengatur subjek seorang perempuan yang sedang mengandung. Tidak dipermasalahkan apakah perempuan itu bersuami atau tidak; dan berarti bahwa tak jadi masalah apakah si perempuan hamil dalam ikatan perkawinan, atau hamil di luar perkawinan. Bahkan tak dipersoalkan pula apakah kehamilan itu dalam program bayi tabung. Menurut Sianturi, pelaku kejahatan dalam pasal ini bisa tunggal bisa juga pelaku dalam penyertaan. Yang terakhir ini terbaca dari frasa “atau menyuruh orang lain”. Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (1986), menyatakan bahwa dalam tindak pidana aborsi ini tidak dipersoalkan alasan apa yang mendorong si ibu melakukan aborsi.

 

Dipaparkan Sianturi, tindakan yang dilarang dalam Pasal 346 adalah mengugurkan kandungan (vrucht) atau mematikan kandungan. Dua tindakan ini harus dipandang senafas. Artinya, mengugurkan kandungan harus dibaca dengan menggugurkan kandungan yang hidup. Masalah ini sangat penting untuk menentukan mulai kapan suatu tindakan bisa dikualifikasi sebagai aborsi. Mengutip pandangan dokter S.A. Gulam, Sianturi menyebutkan setelah berumur tiga bulan akan diketahui jenis kelamin dan bayinya mulai berbentuk. Jika ini dipakai sebagai patokan, maka menggugurkan kandungan yang belum berusia tiga bulan tak bisa dijerat dengan Pasal 346 KUHP. Tapi Sianturi juga menyebut ada sarjana lain yang pasal ini tetap bisa dipakai sejak terjadi kehamilan.

 

Itu baru perbedaan pandang mengenai kapan saatnya menentukan tindakan sebagai aborsi atau bukan. Faktanya, ada banyak pertanyaan lain yang bisa dikemukakan. Misalnya, apakah perempuan yang tak menghendaki kehamilan, karena merupakan korban perkosaan, juga bisa dijerat pasal-pasal aborsi dalam KUHP? Siapa saja yang bisa disasar dalam tindak pidana aborsi? Kalaupun suatu aborsi dapat dibenarkan, kondisi apa yang memungkinkan tindakan itu dilakukan? Penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam hukum positif dan hukum yang sedang dipersiapkan untuk masa depan (ius constituendum).

Tags:

Berita Terkait