Penafsiran Konstitusi dan Identitas Tafsir Konstitusi
Kolom

Penafsiran Konstitusi dan Identitas Tafsir Konstitusi

Membangun keputusan dengan cara dialogis menjadi konsep yang tepat dan harus hadir di Mahkamah Konstitusi.

Bacaan 2 Menit
M Ilham Hermawan. Foto: Dokumen Pribadi
M Ilham Hermawan. Foto: Dokumen Pribadi

Sudah sepekan perdebatan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 berlalu, perdebatan di ruang-ruang TV, media cetakan bahkan media online sudah hampir berakhir. Hasilnya, kecenderungan umum menyatakan, walaupun MK menolak permohonan perkara tersebut, tidak dapat diartikan bahwa MK setuju dengan Zina dan LGBT. Penolakannya lebih dikarenakan MK menilai, dalam hal kebijakan kriminal (criminal policy maker), MK tidak dapat membentuk norma “positive legislator”, pembentukan norma merupakan kewenangan DPR.

 

Tapi, terdapat hal penting yang perlu dicatat dari perdebatan putusan MK tersebut. Bukan tentang Zina dan LGBT. Bukan tentang positive legislator atau negative legislator. Akan tetapi tentang “Penafsiran Konstitusi”. Frasa yang banyak hadir dalam perdebatan tersebut, khususnya dari pakar-pakar hukum tatanegara. Ketika mereka menganalisa, selalu pendapatnya mendasarkan pada penafsiran konstitusi.

 

Terdapat ahli yang mendalilkan harus ada batasan atas kerangka besar penafsiran konstitusi yang menjadi pembatas “ring” berdebat para Hakim MK. Adapula yang menyatakan tidak perlu ada batasan atasan penafsiran konstitusi. Dalam penafsiran konstitusi memang dikenal banyak metode penafsiran.

 

Terhadap metode tersebut, menjadi kebebasan hakim untuk memilihnya. Istilah-isilah yang berkembang dalam teori penafsiran konstitusi, juga mendadak keluar pada perdebatan putusan MK tersebut. Ada yang menyinggung ada dua cara bernafsir konstitusi, yang disebutnya dengan original intent dan non-original intent.

 

Jadi apa sebenarnya penafsiran konstitusi? Tulisan ini memberikan jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut. Jawaban yang diberikan secara dasar atas pemahaman penafsiran konstitusi.

 

Dua Aliran Besar dalam Tafsir Konstitusi

Setidaknya terdapat 2 (dua) aliran besar dalam penafsiran konstitusi. Keduanya memang sering dihadap-hadapkan. Aliran originalism dan non- originalism, istilah untuk menamakan diri atas perbedaan keyakinan cara bernafsir. Istilah ini, yang secara umum sering di gunakan untuk pembeda dua aliran tersebut. Memang ada istilah lainnya seperti interpretivism dan non-interpretivism tapi kurang populer, sedangkan original inten dan non-original inten merupakan istilah yang tidak dipergunakan untuk pembedaan kedua aliran tersebut.

 

Michael J. Perry, yang menyatakan bahwa originalism menginterpretasikan konstitusi berarti menegaskan makna originalnya. Artinya memberlakukan konstitusi berarti memberlakukannya sebagaimana dipahami awalnya oleh para perumus atau pengesahnya. Teks konstitusi maupun niat perumusnya merupakan hal yang mengikat. Keyakinan ini yang mengakibatkan Hakim menjadi sangat konservatif, mereka cenderung menahan diri melakukan terobosan hukum.

Tags:

Berita Terkait