Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP
Problematika RKUHP:

Akhir Nasib Delik Korupsi dalam RKUHP

Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam KUHP segera berakhir. Beberapa catatan kritis pun masih dibahas. Akankah KPK di ujung tanduk?

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perdebatan panjang mengenai keberadaan delik korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nampaknya akan segera usai. Pemerintah dan DPR mentargetkan pembahasan Buku I dan II RKUHP rampung pada Januari 2018. Sebagaimana diketahui, Buku II mengadopsi sejumlah delik khusus, termasuk korupsi.

 

Delik-delik khusus dikumpulkan menjadi satu dalam Bab Tindak Pidana Khusus. Di situ, ada berbagai macam tindak pidana khusus, seperti tindak pidana terorisme, narkotika, pencucian uang, Hak Asasi Manusia (HAM), kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, pemilihan umum, pelayaran, penerbangan, serta informasi dan transaksi elektronik (ITE).

 

Sebenarnya, penarikan delik korupsi dan beberapa tindak pidana khusus lain ke dalam RKUHP sudah menjadi perdebatan lama. Bahkan, sejak 2013, beberapa diskusi telah diselenggarakan untuk membahas perlu atau tidak memasukan delik korupsi dalam RKUHP. Muncul pro dan kontra antara sesama pakar hukum, ataupun secara kelembagaan.

 

Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) kala itu, Prof Jacob Elfinus (JE) Sahetapy pernah meminta agar pemerintah menarik RKUHP dari proses pembahasan yang tengah berlangsung DPR. Oleh karena RKUHP tersebut tidak juga ditarik dari DPR, ia meminta pemerintah bersama DPR untuk mengeluarkan delik korupsi dalam RKUHP.

 

Masuknya delik korupsi dalam RKUHP dikhawatirkan akan menghilangkan sifat kekhususannya. Delik korupsi akan menjadi delik umum, sehingga keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menjadi "terancam". Belum lagi persoalan mengenai tata cara penanganan korupsi yang selama ini memberikan kewenangan khusus kepada KPK.

 

Mengenai semangat pemerintah bersama DPR untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana, Sahetapy menyatakan, niat itu sah-sah saja. Kodifikasi adalah menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi, bukan berarti tidak boleh ada peraturan di luar buku atau kodifikasi itu.

 

Dengan demikian, Sahetapy berpandangan, bahwa sikap KPK maupun lembaga-lembaga penegak hukum lain yang merasa dirugikan dengan keberadaan delik-delik khusus dalam RKUHP sangat beralasan. Menurutnya, jika delik korupsi dimasukan ke dalam RKUHP, maka nasib KPK tinggal menunggu hari saja.

Tags:

Berita Terkait