Belajar dari Polemik Putusan MK
Kolom

Belajar dari Polemik Putusan MK

Jelas terlihat, salah paham terhadap putusan merupakan episentrum persoalan. Fatal akibatnya.

Bacaan 2 Menit
Fajar Laksono Suroso. Foto: RES
Fajar Laksono Suroso. Foto: RES

Separuh akhir bulan Desember ini, polemik di ruang publik atas Putusan 46/PUU-XIV/2016 bergulir sedemikian rupa. Terhadap putusan, setuju atau tidak, itu biasa. Perdebatan menjadi milik publik yang tak mungkin terhindarkan. Yang  disayangkan, ketaksetujuan disertai tudingan dan kecaman yang menjurus pada kebencian. Beberapa waktu sudah terlewat, tudingan miring kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menjauh dan disadari itu terjadi karena salah memaknai putusan MK.

 

Mari kita cermati su’udzon sejumlah publik terhadap putusan MK. Jikalau musababnya kesulitan orang mencerna makna di balik logika dan bahasa hukum dalam putusan, itu mungkin. Untuk itu, mari menepi dari kerumitan bahasa-bahasa hukum di dalamnya. Ada apa dengan Putusan 46/PUU-XIV/2016?

 

Salah Paham

Publik awam tahunya MK menolak permohonan Pemohon. Mengenai alasan mengapa menolak, seringkali orang malas atau tak mau tahu. Bagi publik ini, penolakan MK itu sama artinya dengan MK melegalkan atau menghalalkan zina dan LGBT.

 

Ini poin yang membahayakan. Padahal, yang ditolak MK ialah kehendak Pemohon untuk memperluas makna, bahkan meminta MK membuat rumusan norma hukum pidana yang sama sekali baru dalam Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP.

 

Pemohon minta kepada MK agar pasal perzinahan bukan saja berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang terikat perkawinan, melainkan bagi semua laki-laki atau perempuan. Kepada MK, Pemohon juga meminta agar pasal perkosaan tidak hanya menjerat laki-laki yang memperkosa perempuan, melainkan bisa mencakup setiap orang yang melakukan kekerasan seksual, baik itu laki-laki maupun perempuan.

 

Dalam pasal perbuatan cabul, Pemohon minta agar bukan saja perbuatan asusila orang dewasa terhadap anak-anak berjenis kelamin sama yang dapat dipidana, melainkan juga bagi setiap orang yang melakukan asusila itu.

 

Dalam putusan, MK tegas menyatakan bahwa urusan untuk mempidana atau tidak mempidana pelaku kejahatan, dalam hal ini kejahatan kesusilaan, bukan domain MK, melainkan kewenangan eksklusif pembentuk UU. Alasan terkuatnya, terkhusus dalam hukum pidana, kebijakan kriminal merupakan domain UU.

Tags:

Berita Terkait