​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya
Catatan Hukum J. Satrio

​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya

​​​​​​​Sepakat yang sah adalah sepakat yang diberikan tanpa ada unsur kesesatan, paksaan dan penipuan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Makalah ini hendak mencari jawab atas pertanyaan, apakah orang bisa terikat pada suatu perjanjian tanpa ia menghendakinya?

 

Catatan: Tulisan ini didasarkan atas ketentuan tentang perjanjian yang ada dalam K.U.H. Perdata atau B.W.

 

Berbicara tentang sepakat merupakan pembicaraan tentang salah satu segi dari perjanjian, karena sepakat merupakan salah satu unsur perjanjian, sebagai nampak dalam Ps. 1320 sub 1 B.W.

 

Pasal 1320 B.W. mengatakan :

 

“Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :

  1. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang halal.

 

Untuk pembicaraan kita di sini, yang paling penting adalah syarat yang pertama, yaitu “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Karena pasal di atas berbicara tentang sahnya suatu perjanjian, maka “sepakat” mestinya merupakan syarat mutlak agar perjanjian itu sah. Konsekuensi logisnya mestinya adalah, tanpa sepakat tidak ada perjanjian yang sah.

 

Inilah yang akan menjadi topik utama dalam  tulisan ini. Kalau sepakat adalah syarat untuk sahnya suatu perjanjian, apakah masih mungkin ada perjanjian tanpa sepakat, sekalipun perjanjian itu mungkin tidak sah, d.p.l. bukan merupakan perjanjian yang sah?

 

Catatan:

Dalam bahasa aslinya, redaksi pasal di atas sebenarnya berbunyi: “Untuk “adanya” perjanjian diperlukan empat syarat”, bukan “Untuk “sahnya” perjanjian diperlukan empat syarat”, namun para sarjana berpendapat, bahwa pembuat undang-undang di sini keliru, sehingga seharusnya dibaca “Untuk “sahnya” perjanjian diperlukan empat syarat”.[1]

Tags:

Berita Terkait