Sepakat dan Permasalahannya: Perjanjian dengan Cacat dalam Kehendak
Catatan Hukum J. Satrio

Sepakat dan Permasalahannya: Perjanjian dengan Cacat dalam Kehendak

​​​​​​​Sepakat yang benar, pasti adalah sepakat yang tidak tersesat, tidak terpaksa, tidak tertipu dan tidak telah diberikan karena adanya penyalahgunaan keadaan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak adalah perjanjian-perjanjian yang pada waktu lahirnya mengandung cacat dalam kehendak. Perhatikan kata-kata “pada waktu lahirnya”.

 

Undang-undang dalam Pasal 1322 – Pasal 1328 B.W. mengatur tentang perjanjian yang telah ditutup atas dasar adanya cacat dalam kehendak. Ke dalam kelompok perjanjian yang mengandung “cacat dalam kehendak” dalam doktrin dimasukkan perjanjian-perjanjian yang mengandung unsur “kesesatan, paksaan atau penipuan” pada saat lahirnya perjanjian. Belakangan juga dimasukkan ke dalamnya perjanjian yang timbul atas dasar adanya “penyalahgunaan keadaan”.

 

Pada perjanjian yang mengandung cacat dalam kehendak, kehendak yang diberikan dalam perjanjian itu bukan didasarkan atas kehendak (sepakat) yang murni, sepakat di sana diberikan karena ia keliru, tertekan, tertipu atau di bawah pengaruh orang lain yang menyalahgunakan keadaan yang ada.

 

Jadi, bukan merupakan sepakat yang mestinya ia berikan kalau ia tidak khilaf (keliru), tidak takut kepada tekanan yang ada, kalau kehendaknya tidak dibawa kepada gambaran yang tidak benar oleh lawan janjinya atau kepercayaannya tidak disalahmanfaatkan oleh lawan janjinya. Sepakat di sini adalah sepakat yang – dalam bahasa Jawa -- keblinger, jadi -- walaupun ada diberikan sepakat, namun -- bukan didasarkan atas kehendak yang sebenarnya.

 

Dari Pasal 1321 – Pasal 1328 B.W. kita bisa menyimpulkan, bahwa “sepakat” yang diberikan atas dasar kesesatan, paksaan dan penipuan (dan kemudian juga penyalahgunaan-keadaan), bukanlah “sepakat” sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1320 sub 1 B.W., karena sepakat yang telah diberikan sebagai akibat adanya kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalah-gunaan keadaan, bukan merupakan sepakat yang sah (baca Pasal 1321 B.W.) dan karenanya bisa dituntut pembatalannya.

 

Padahal “sepakat yang benar” mengikat pihak yang memberikan sepakat itu sebagai suatu undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) B.W.). Kiranya patut untuk diterima, bahwa sepakat yang tidak didasarkan atas kehendak yang sebenarnya tidak melahirkan perjanjian yang sah.

 

Dengan mengingat akan sepakat yang mengandung cacat dalam kehendak sebagai yang disebutkan di atas, maka bisa kita katakan, bahwa:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait