Tchaikovsky itu Bernama Supriyadi, Sang Komponis di Kalangan Aktivis
Kolom

Tchaikovsky itu Bernama Supriyadi, Sang Komponis di Kalangan Aktivis

​​​​​​​Jiwa komponis Supi, tergambarkan dengan jelas ketika ia memoderasi puluhan jaringan LSM dengan latar belakang fokus isu hukum dan HAM yang berbeda satu sama lain, termasuk pola dan metode advokasinya.

Bacaan 2 Menit
Julius Ibrani. Foto: Dokumen Pribadi.
Julius Ibrani. Foto: Dokumen Pribadi.

Kenangan Terakhir: Diskusi & Advokasi

Sore hari di akhir tahun 2017, menjadi kenangan terakhir bagi Saya dengan Supriyadi Widodo Eddyono. Seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan Supi itu, baru saja menuntaskan diskusi publik tentang kebijakan pemidanaan narkotika di salah satu kafe di Cikini.

 

Saya hadir mewakili PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) dalam kegiatan tersebut dengan gerakan tangan, dan penyebutan “bro” kepada sejawatnya, serta tawa “cengengesan”-nya yang khas, Supi begitu fokus dan bergelora memaparkan gagasannya tentang reformasi sistem penahanan di Indonesia, bak seorang Usman Hamid yang ber-orasi tentang perlawanan di hadapan korban pelanggaran HAM.

 

Saya, yang sedang menggenggam secangkir kopi, memberikan perhatian penuh ke Supi, sambil menambahkan beberapa sendok gula ke dalam cangkir kopi tadi. Tetiba, cengkraman tangan Supi dengan tangkas mendarat di lengan Saya yang sedang memegang sendok gula, katanya, ”udah cukup, jangan kebanyakan bro Ijul.. Elu udah kegemukan mendadak kalau gw liat-liat.. bahaya nanti itu.. (sambil tertawa cengengesan)”.

 

Karakter Yang Kuat

Potongan cerita di atas terdengar amat sangat sederhana, dan Saya yakin -tanpa perlu bersumpah menjual nama “Monas”- hanya Saya di antara beberapa pegiat/aktivis yang duduk bersama di meja diskusi itu. Bukan bermaksud untuk ber-romantisisme terhadap diri Saya sendiri, namun  bagi Saya, dan orang-orang yang mengenal Supi secara pribadi (bukan hanya secara profesi), tentu memahami bahwa itulah wajah dan watak asli Supi, yang memiliki karakter yang kuat.

 

Pertama, multitasking. Sebenarnya Supi sedang ber-multitasking: menjelaskan gagasan sistem penahanan dan di saat yang bersamaan memperhatikan gerak-gerik Saya. Kedua, observasi yang kontinu. Supi, memperhatikan penambahan berat badan Saya yang tidak gradual dalam kurun waktu tertentu. Dengan sangat menyesal harus Saya akui, sekitar 9 Kg dalam setahun dan “tersendat” di bagian perut, sudah menjadi notoire feiten di hadapan organ tubuh Saya yang lain.

 

Terakhir, ketiga, memperhatikan detail. Supi tahu bahwa yang sedang saya tuangkan ke dalam cangkir kopi adalah gula. Perhatian pada hal-hal detail ini juga yang Saya alami dengan rekan-rekan dalam advokasi bersama Supi di isu pembatasan remisi dan pembebasan bersyarat, lewat permohonan pihak terkait di Mahkamah Konstitusi. Saya dan Emerson Yuntho -pegiat antikorupsi dari ICW- sempat ditegur keras pada advokasi tersebut.

 

Penuh semangat, enerjik, persisten, fokus sekaligus mampu memilah dan mengomposisikan setiap detail secara bersamaan. “Dipertunjukkan” Supi di saat ia memaparkan pemikirannya yang tajam, kritis dan taktis. Supi mampu memoderasi beberapa aktivitas berbeda, sekaligus dalam satu saat yang sama. Mengingatkan Saya pada sosok seorang Komponis.

Tags:

Berita Terkait