Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak Berpraktik ‘Shadow Banking’
Berita

Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak Berpraktik ‘Shadow Banking’

Salah satu upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menutup celah praktik shadow banking dengan menetapkan batas maksimal penempatan dana dalam escrow account maksimal tujuh hari.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Kehadiran teknologi finansial atau financial technology (fintech) ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, fintech begitu memudahkan masyarakat dalam mengakses pinjaman ataupun pembiayaan. Namun, pada sisi yang lain fintech disebut-sebut dapat “mengancam” eksistensi perbankan konvensional atau lembaga keuangan formal lainnya.

 

Meski begitu, hal lumrah ketika masyarakat sebagai nasabah ingin mencari kemudahan, misalnya mengajukan kredit tanpa proses berbelit-belit dibandingkan meminjam uang ke bank. Selain memakan waktu lama dan proses yang panjang sampai dana cair, nasabah yang berstatus wirausaha atau UMKM misalnya harus dilakukan pengecekan mendalam untuk memitigasi risiko kredit gagal yang dikhawatirkan pihak perbankan.

 

Kini, hadirnya fintech khususnya model bisnis layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Peer to Peer Lending), proses panjang tersebut dapat dipangkas dengan hadirnya teknologi ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyadari tantangan yang dihadapi pelaku usaha sektor jasa keuangan (PUJK) semakin berat. Terlebih, dengan hadirnya fintech. Karena itu, strategi yang ditempuh OJK selaku regulator tahun 2018 semakin mengerucut.

 

Dalam jumpa pers akhir tahun 2017 lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan hadirnya fintech yang berkembang cepat/pesat memerlukan kebijakan yang cepat dan tepat dari regulator. Di awal tahun ini, OJK akan fokus menyusun peta jalan (road map) fintech periode lima tahun ke depan yang menjadi acuan dalam pengembangan, pengaturan, dan pengawasan pelaku fintech.

 

“OJK juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional yang akan melakukan fungsi koordinasi agar penyelenggaraan fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen,” kata Wimboh dalam jumpa pers, akhir Desember 2017 kemarin.   

 

Wimboh mengungkapkan terjadi persaingan di industri jasa keuangan, terutama antara perbankan konvensional dengan fintech. Stance regulator kembali menegaskan OJK berusaha merespon dengan cepat dan tepat melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Akhir Desember 2016, setelah melihat pesatnya penyelenggara Peer to Peer Lending, OJK buru-buru mengeluarkan payung hukum lewat POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

 

Awal triwulan 2018, lanjut Wimboh, OJK segera mengeluarkan aturan main terbaru dengan Rancangan POJK tentang Inovasi Keuangan Digital. Direktorat Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK juga tengah merampungkan dua aturan turunan dari POJK Nomor 77 Tahun 2016, yakni Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) tentang Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggara LPMUBTI dan RSEOJK tentang Penyelenggaraan LPMUBTI. Sejumlah upaya tersebut, kata Wimboh, untuk mengatur fintech agar tumbuh di tengah keberadaan pelaku jasa keuangan formal existing.

Tags:

Berita Terkait