Putusan Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden ‘Hujan’ Kritik
Berita

Putusan Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden ‘Hujan’ Kritik

Terutama ketidakkonsistenan MK dalam putusannya, khusunya penafsiran makna sistem presidensial.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XV/2017 terkait dengan konstitusionalitas aturan ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) telah dibacakan pada Kamis (11/1) kemarin. Dalam putusannya, MK menolak pengujian aturan ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

Ditolaknya, permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional ini dikritik sejumlah kalangan mulai kalangan pemerhati Pemilu dan Demokasi hingga parlemen karena dinilai bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945.

 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dinilai keliru. Menurutnya, Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

 

Ia menilai redaksional Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 terbilang mudah dipahami. Sebab konstitusi mengunci dan mengatur secara jelas dan tegas pihak yang berhak mengajukan pasangan calon presiden adalah setiap partai politik yang terdaftar dan ditetapkan sebagai peserta pemilu.

 

Menurutnya, terdapat perbedaan frasa “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum” dengan “atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Frasa pertama adalah hal yang dijamin oleh konstitusi untuk dilaksanakan.

 

Perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden, itu menjadi pilihan bagi partai politik. Hal ini yang dijelaskan dalam frasa kedua yakni “partai politik atau gabungan partai politik”.  

 

Dalam pertimbangan putusan MK terkait Pasal 6A Ayat (2) UUD Tahun 1945, menurutnya mengalami lompatan logika yang sangat tidak tepat. Sebab, MK secara tiba-tiba memaknai Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagai constitutional engineering, mendorong partai-partai yang memiliki platform, visi atau ideologi yang sama atau serupa untuk berkoalisi ketika mencalonkan presiden dan wakil presiden sebagai jabatan eksekutif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait