Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik

Apakah Hakim bisa atas dasar Pasal 1339 B.W. dibenarkan untuk menambah  atau mengubah isi perjanjian?

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Untuk menggambarkan, bahwa ada kalanya melaksanakan perjanjian sebagaimana kata-kata dalam perjanjian akan menimbulkan ketidakpatutan, bisa kita kemukakan contoh peristiwa sewa-beli piano.

 

Dalam perjanjian sewa-beli telah disepakati, bahwa pembeli-sewa membayar uang tunai f 50 dan sisa harga piano akan dicicil f 10 tiap bulan, dengan janji, bahwa hak milik atas piano baru beralih pada waktu cicilan yang terakhir telah dilunasi dan dengan janji. Bahwa dalam hal pembeli-sewa tidak memenuhi kewajiban pembayarannya dengan baik penjual-sewa berhak membatalkan perjanjian sewa-beli, mengambil kembali piano sebagai miliknya dan pembeli-sewa harus membayar semua sisa kewajiban cicilannya kepada penjual-sewa.

 

Terjadilah suatu hari, setelah pembeli-sewa membayar 34 kali cicilan, pembeli-sewa tidak memenuhi kewajiban selanjutnya dengan baik. Sehingga masih ada sisa cicilan sebesar f 130. Penjual-sewa menuntut hak-haknya berdasarkan perjanjian. Pembeli-sewa harus menyerahkan piano kepada penjual-sewa, harus membayar sisa kekurangannya sebesar f 130, membayar ganti rugi kepada penjual-sewa. Permasalahannya adalah, apakah kalau perjanjian itu dilaksanakan sebagaimana kata-katanya (sebagai yang disepakati) tidak bertentangan dengan tuntutan kepantasan dan kepatutan (iktikad baik)?

 

Pengadilan berpendapat, bahwa kalau kita ikuti kata-katanya, maka sesudah penjual-sewa (sesuai dengan haknya dalam perjanjian) membatalkan perjanjian sewa-beli, ia berhak untuk mengambil kembali piano sebagai miliknya. Di samping itu tetap memiliki semua cicilan yang sudah maupun yang belum dibayar, sehingga kalau penjual-sewa diberikan semua hak-haknya berdasarkan perjanjian, ia akan menerima lebih dari yang mestinya ia terima berdasarkan sewa-beli, kalau semua berjalan dengan baik. Pembeli-sewa keberatan, sehingga menjadi masalah, apakah dalam peristiwa seperti itu Hakim, dengan berpegang kepada Pasal 1338 ayat (3) B.W. boleh menyimpang dari perjanjian?

 

Pengadilan mengatakan, bahwa Pasal 1338 ayat (3) B.W. tidak memberikan kebebasan kepada Hakim untuk menyimpang dari apa yang telah disepakati dalam perjanjian.[1]

 

Dalam perkara “N.V. V.N. Rubberfabriekan – Wilhelmi”,[2] HR dihadapkan kepada pertanyaan, apakah Hakim boleh mengubah besarnya janji denda (sebagai sanksi pelanggaran), yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian, kalau menurut keadaan yang ada, tidak patut untuk dijatuhkan sepenuhnya?

 

Pertimbangan HR, bahwa inti pokok ketentuan Pasal 1338 B.W. adalah, bahwa semua perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang. Dalam perjanjian, pihak tergugat dalam kasasi telah dengan jelas mengikatkan diri untuk membayar denda f 10.000,00 untuk setiap pelanggaran atas larangan yang telah disebutkan dalam perjanjian.

Tags:

Berita Terkait