Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik (Lanjutan)
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Problema Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik (Lanjutan)

​​​​​​​Menurut HR Pasal 1338 BW tidak memberikan wewenang kepada hakim untuk, demi untuk memungkinkan pelaksanaannya dengan iktikad baik, mengubah isi perjanjian.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Permasalahan yang mirip dengan contoh di depan, yang timbul sebagai akibat adanya perang dan perubahan harga, juga terjadi pada perkara yang terkenal dengan sebutan perkara “Sarong”.[1] Inti perkaranya, antara penjual dan pembeli telah ditutup perjanjian jual beli satu partai sarung.

 

Sementara perjanjian berjalan, meletus perang dunia I, sehingga penjual tidak bisa menyerahkan sarung pada waktu yang dijanjikan. Sesudah perang selesai, pembeli menuntut penyerahan sarung itu. Sementara itu, sebagai akibat dari adanya perang, harga-harga, termasuk harga sarung, telah naik tinggi sekali. Penjual menolak untuk memenuhi kewajibannya.

 

Ketika perkara itu sampai ke tingkat banding, maka Hof telah mempertimbangkan, bahwa pelaksanaan perjanjian pada waktu itu tidak bisa lagi secara pantas dituntut. Hal ini mengingat, sebagai akibat dari terhalangnya penyerahan untuk suatu waktu yang lama, sebagai akibat dari keadaan memaksa, pelaksanaan perjanjian itu telah bergeser ke suatu masa, di mana ongkos produksi telah naik banyak sekali.

 

Bahwa sekalipun pada umumnya, suatu perjanjian yang karena adanya keadaan memaksa untuk suatu jangka waktu yang lama, tidak menjadikannya suatu perjanjian itu menjadi tidak bisa dilaksanakan. Tetapi dalam peristiwa di sini memang perjanjian itu tidak bisa dilaksanakan, kalau sesudah keadaan memaksa itu berakhir, keadaan telah sedemikian berubahnya.

 

Sehubungan dengan perubahan ongkos produksi, maka pelaksanaan Pasal 1338 ayat (3) jo. Pasal 1339 BW tidak bisa membenarkan tuntutan pembeli, dalam arti, bahwa iktikad baik dan kepatutan tidak bisa membenarkan tuntutan pemenuhan perjanjian itu sebagaimana kata-katanya.

 

Jadi, menurut Hof, iktikad baik dan kepatutan dalam pelaksanaan perjanjian sebagai yang dituntut oleh Pasal 1338 ayat (3) BW -dalam keadaan yang berubah- bisa membenarkan, bahwa perjanjian tidak bisa dilaksanakan sebagaimana kata-katanya.

 

Ketika perkara itu sampai di HR, maka oleh HR telah dipertimbangkan, bahwa mengingat Pasal 1338 dan 1339 BW terdapat pada bagian “akibat dari perjanjian”, maka nampak maksud undang-undang, bahwa yang terkandung di dalam kententuan-ketentuan itu tidak bermaksud untuk membatalkan perjanjian yang lahir sah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait