RUU Masyarakat Hukum Adat Perlu Masukan Semua Tokoh Adat
Berita

RUU Masyarakat Hukum Adat Perlu Masukan Semua Tokoh Adat

Dalam RUU Masyarakat Hukum Adat mesti memberi klausul pengaturan secara eksplisit, khususnya mengenai tidak terhapusnya kepemilikan tanah adat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS

Badan Legislasi (Baleg) telah menyepakati draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat untuk dibawa ke rapat paripurna. Tujuan utama pembentukan RUU tersebut dalam rangka melindungi kepemilikan hukum adat. Bukan justru menghapus dan atau melepas hak kepemilikan adat dengan imbalan konpensasi. Demikian disampaikan anggota Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Arief Wibowo di komplek Gedung Parlemen, Rabu (24/1/2018).

 

“Jadi semua pasal yang disusun dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat bertujuan untuk  melindungi masyarakat, menguatkan dan memberdayakan masyarakat hukum adat lebih dari sekedar pengakuan,” terangnya.

 

Ditegaskan Arief, negara bakal berperan aktif untuk tidak membiarkan tindakan peminggiran, penggusuran, hingga penghilangan masyarakat hukum adat. Menurutnya, bila nantinya RUU tersebut disahkan menjadi UU dan diberlakukan, maka keterlibatan masyarakat hukum adat, persetujuan bersama menjadi hal yang sangat ditekankan. “Sebagai syarat mutlak yang tidak bisa diindahkan,” ujarnya.

 

Anggota Baleg, Hermanto melanjutkan RUU Masyarakat Hukum Adat semestinya menguatkan peran negara dalam hal memberi perlindungan dan menumbuhkembangkan budaya, perilaku, nilai dan kepemilikan atas tanah. Sebenarnya, kata dia, pengaturan masyarakat hukum adat cukup rumit karena pengaturannya mesti sinkron dengan sejumlah UU lain.

 

Meski sebelumnya sudah dinyatakan rampung di tahap harmonisasi Baleg, tidak kemudian  RUU ini selesai untuk dikritisi. Menurutnya, anggota Baleg dan Panja atau Pansus yang ditugasnya membahas RUU ini mesti kritis. “Pengaturan masyarakat hukum adat cukup rumit karena pengaturannya mesti sinkron dengan sejumlah UU lain terutama UU tentang Pokok Agraria dan RUU tentang Pertanahan yang masih dibahas di DPR,” kata dia.

 

Hermanto berpendapat RUU tentang Masyarakat Hukum Adat mesti memberi klausul pengaturan secara eksplisit, khususnya mengenai tidak terhapusnya kepemilikan tanah adat. Ia mengusulkan perlunya uji publik dan masukan dari sejumlah pakar dan tokoh masyarakat adat dalam rangka menyempurnakan substansi untuk menjaga keutuhan negara kesatuan Indonesia (NKRI).

 

Seperti diketahui, Guru Besar pada Universitas Leiden Belanda, Prof Mr Cornelis Van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechsringen).  Karena Hermanto mengingatkan setiap daerah memiliki hukum adat yang berbeda-beda. Minangkabau Sumatera Barat, misalnya.

Tags:

Berita Terkait