Wilayah Abu-Abu Jenis Pekerjaan yang Bisa Dialihdayakan
Fokus

Wilayah Abu-Abu Jenis Pekerjaan yang Bisa Dialihdayakan

Peraturan perundang-undangan dianggap tidak konsisten mengatur jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Sistem outsourcing juga dipakai Pemerintah.

Oleh:
Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Dunia usaha di sektor apapun tetap selalu memiliki peluang untuk menggunakan jasa pekerja outsourcing. Sistem kerja outsourcing membuat kompetisi biaya operasi lebih tinggi daripada memiliki banyak karyawan. Kalau pekerja outsourcing professional menjalankan tugas, maka yang diuntungkan bukan hanya pekerja, tetapi juga perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan pengguna pekerja (user).

 

Multibenefit itulah yang dilihat Danang Girindrawardhana saat dimintai pandangan tentang outsourcing berkeadilan. Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu mengatakan Pemerintah harusnya lebih melihat manfaat sistem kerja outsourcing karena faktanya digunakan di sektor apapun. Bahkan Pemerintah sendiri menggunakan tenaga outsource atau pekerja dengan sistem kontrak. Karena itu, menurut Danang, Pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang berkeadilan, bukan menghilangkan outsourcingnya. Toh, Pemerintah, khususnya BUMN, juga diuntungkan sistem kerja dengan waktu tertentu ini. “Jadi, jangan diutak-atik hanya swasta saja,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Pernyataan Danang bukan tanpa dasar. Komisi IX DPR sudah mengeluarkan rekomendasi yang harus dijalankan Pemerintah terkait praktek outsourcing di Badan Usaha Milik Negara. Menteri BUMN Rini Sumarno dan Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri pun sudah bertemu membahas langkah-langkah yang diambil. Faktanya, hingga kini pekerja outsourcing di BUMN masih dijalankan. Artinya, memang ada pekerjaan tertentu yang bisa diisi pekerja outsourcing.

 

(Baca juga: Menaker-Menteri BUMN Cari Solusi Outsourcing)

 

Menggunakan pekerja outsourcing atau alih daya sebenarnya bukan sesuatu yang haram. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 64-66, membuka peluang penggunaan tenaga alih daya. Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menegaskan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Persyaratan dan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan ditentukan Pasal 65 dan Pasal 66. Berdasarkan Pasal 65 ayat (2) ada empat syarat pekerjaan yang bisa dialihdayakan. Pertama, pekerjaan itu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. Kedua, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketiga, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Keempat, tidak menghambat proses produksi secara langsung.

 

Dalam prakteknya, tak semua pemangku kepentingan sepakat dengan aturan outsourcing tersebut. Buktinya, sejauh ini sudah tiga kali permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi yang pada prinsipnya berkaitan dengan masalah outsourcing. Salah satu dari permohonan itu bahkan dikabulkan sebagian. Lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011. Putusan ini dianggap sebagai tonggak penting upaya membangun sistem outsourcing yang berkeadilan.

 

(Baca juga: Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya)

 

Danang Girindrawardhana juga berharap putusan Mahkamah Konstitusi itu menjadi momentum untuk menerbitkan regulasi outsourcing yang lebih baik. “Putusan MK itu membuka peluang bagi Pemerintah untuk menerbitkan regulasi terkait penyelenggaraan jasa outsourcing karena mereka memiliki peranan kuat untuk menjembatani antara user dengan sumber daya manusia. Kita belum mempunyai regulasi yang cukup baik,” ujarnya.

 

Pemerintah sebenarnya merespons putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud. Setidaknya ada satu Surat Edaran dan satu Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang diterbitkan. Tetapi di mata Ike Farida, regulasi yang diterbitkan belum sepenuhnya berkeadilan antara lain karena tak sejalan dengan prinsip UU Ketenagakerjaan. Advokat yang menulis disertasi tentang outsourcing ini juga menganggap outsourcing lebih layak diatur dalam peraturan setingkat Undang-Undang, bukan Peraturan Menteri seperti saat ini.

Tags:

Berita Terkait