RUU Masyarakat Hukum Adat Harus Sinkron dengan UU Sektoral
Berita

RUU Masyarakat Hukum Adat Harus Sinkron dengan UU Sektoral

Antara lain dengan RUU pertanahan, UU Pokok-Pokok Agraria, dan RUU tentang Minerba karena semuanya saling beririsan satu sama lain. Apalagi, selama ini penambangan dan masyarakat adat tidak dapat berjalan beriringan karena proses penambangan seringkali merusak masyarakat hukum adat, termasuk tanah adat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat menunggu waktu untuk diparipurnakan di tingkat pertama, sehingga pembahasan memang masih panjang. Hal terpenting harmonisasi dan sinkronisasi antara RUU tentang Masyarakat Hukum Adat dan UU lain agar tidak berbenturan dan tumpang tindih pengaturannya.

 

Pernyataan ini disampaikan Dosen Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho dalam sebuah diskusi di Jakarta. “Pembahasan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat mesti sinkron dengan UU lainnya,” ujar Wahyu Nugroho di Sekretariat Jatam, Jakarta, Kamis (25/1/2018). 

 

Menurutnya, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat mesti sinkron dengan UU sektoral, terutama RUU Pertanahan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba),  UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. RUU tentang Pertanahan nantinya menjadi aturan pelaksana UU No. 5 Tahun 1960. “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat tak boleh berbenturan, khususnya tentang kepemilkan hak tanah adat,” ujarnya.  

 

Memang antara RUU tentang Pertanahan dan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat saling beririsan satu sama lain. Karena itu, melalui pengaturan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, maka pengakuan terhadap masyarakat adat tidak lagi dipersulit dalam bingkai negara kesatuan Indonesia.

 

Lebih jauh, kandidat doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran Bandung itu menilai mesti ada konsep integrasi. Yakni melakukan interaksi antara berbagai kebijakan pertambangan dengan masyarakat adat. Sebab, pertambangan tak dapat dipisahkan dari tanah masyarakat hukum adat. “Meski (sebenarnya), pertambangan bertentangan dengan konsep masyarakat hukum adat.”

 

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Mining (Jatam), Merah Johansyah mengatakan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) memang tidak sempurna karena tidak mengatur pertambangan rakyat. Beda dengan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok  Pertambangan yang memberi definisi “pertambangan rakyat” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf n UU No. 11 Tahun 1967.

 

Baca Juga:

· RUU Masyarakat Hukum Adat Perlu Masukan Semua Tokoh Adat

· Bakal Disahkan, Ini Poin Perubahan dalam RUU Masyarakat Hukum Adat

· RUU Keanekaragaman Hayati Perlu Pertegas Posisi Masyarakat Hukum Adat

 

Sebab, faktanya selama ini masyarakat adat kerap menjadi korban dari bisnis pertambangan yang dikelola korporasi pemodal besar. Negara pun kerap berpihak pada korporasi, sementara masyarakat adat terus terpinggirkan hak-haknya. Namun, persoalan ini telah diantisipasi melalui pengaturan Pasal 27 RUU tentang Masyarakat Hukum Adat.

Tags:

Berita Terkait