Pengemudi Taksi Online Minta ‘Pengakuan’ di UU LLAJ, Begini Pandangan Ahli
Berita

Pengemudi Taksi Online Minta ‘Pengakuan’ di UU LLAJ, Begini Pandangan Ahli

Satu sisi, butuh pengakuan taksi online sebagai instrumen hukum melalui UU. Di sisi lain, keberadaan taksi online dinilai telah diakomodasi melalui Pasal 151 huruf b UU LLAJ yang mengatur angkutan orang dengan tujuan tertentu.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Beberapa waktu lalu, lima pengemudi sekaligus penyedia jasa angkutan aplikasi online pribadi (nonbadan hukum) mempersoalkan Pasal 151 huruf a UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka, Etty Afiyati Hentihu, Agung Prastio Wibowo Mahestu, Hari Nugroho, Dodi Ilham, Lucky Rachman Fauzi. Intinya, mereka minta agar taksi online secara lettelijk dimuat dalam pasal itu.

 

Selengkapnya, Pasal 151 huruf a UU No. 22 Tahun 2009 berbunyi “Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: (a) angkutan orang dengan menggunakan taksi.”

 

Dalam permohonannya, para Pemohon beralasan Pasal 151 huruf a UU LLAJ belum mengakomodasi keberadaan taksi online sebagai salah satu penyedia jasa angkutan umum. Hal ini dinilai merugikan para Pemohon karena beroperasinya taksi online selama ini tidak diakui UU LLAJ.

 

Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 151 huruf a UU LLAJ dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak ditafsirkan “Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: (a) angkutan orang dengan menggunakan taksi dan taksi online.

 

Argumentasi permohonan ini diperkuat keterangan ahli Pemohon, M. Rullyandi yang menilai berkembangnya inovasi teknologi berbasis aplikasi, khususnya keberadaan taksi online diperlukan masyarakat selain taksi konvensional. Karena itu, keberadaan taksi online perlu kepastian hukum yang dijamin aspek legalitasnya dalam UU LLAJ. Sebab, Pasal 151 huruf a UU LLAJ tidak menegaskan jenis angkutan taksi tanpa menjustifikasi taksi berbasis teknologi (taksi online).

 

“Rasanya tidak cukup kalau taksi online hanya diatur dalam peraturan pelaksana (Permenhub, red), tidak diatur UU LLAJ. Ini kurang melindungi kepentingan pengemudi dan penyedia jasa taksi online,” ujar Muhammad Rullyandi saat memberi keterangan ahli di sidang lanjutan pengujian UU LLAJ di Gedung MK Jakarta, Senin (29/1/2018). Baca Juga: Tidak Ada Problem Legalitas dalam Aktivitas Taksi Online

 

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila ini butuh pengakuan taksi online sebagai instrumen hukum yang berlaku secara nasional melalui UU. Hal ini salah satu cara  untuk mengurangi potensi gejolak atau konflik antara angkutan taksi konvensional dan taksi berbasis online yang selama ini terjadi. Mengingat saat ini jumlah angkutan taksi online sudah cukup banyak di seluruh Indonesia.

Tags:

Berita Terkait