Spektrum Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian UU
Kolom

Spektrum Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian UU

​​​​​​​Pemberian legal standing bagi anggota DPR dalam pengujian undang-undang sangat ditentukan oleh variabel kasus dan bangunan argumentasinya.

Bacaan 2 Menit
Rafiuddin D. Soaedy. Foto: Dokumen Pribadi.
Rafiuddin D. Soaedy. Foto: Dokumen Pribadi.

Beberapa waktu lalu, Setya Novanto mengajukan pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kapasitas sebagai perorangan warga negara dan anggota DPR, Novanto mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) mengenai prosedur khusus penetapan tersangka yang tidak mensyaratkan adanya izin presiden dan Pasal  12 ayat (1) huruf b mengenai pencekalan bagi seseorang yang menjadi obyek penyelidikan.

 

Perkara bernomor 95/PUU-XV/2017 itu, kini, telah melewati tahap pemeriksaan pendahuluan. Bila tidak diputus dini, selangkah lagi akan memasuki tahap pemeriksaan persidangan.

 

Sebenarnya, bukan kali ini saja Novanto mengajukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2016 lalu, ketika tersandung kasus rekaman “papa minta saham”, ia mengajukan pengujian UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

 

Waktu itu, permohonan Novanto dikabulkan, sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor diberi tafsir konstitusional: bahwa yang dimaksud dengan alat bukti informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam penegakan hukum harus atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya. Tafsir konstitusional juga disematkan pada frasa “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor dengan pengertian “bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”.

 

Desain Konstitusional Posisi DPR

Cukup menarik untuk ditelaah, bagaimana Setya Novanto yang notabene anggota DPR mendapat legal standing (kedudukan hukum) mengajukan pengujian undang-undang. UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang tidak melarang anggota DPR menjadi pemohon pengujian undang-undang. Pasal 51 UU MK menyatakan bahwa pemohon adalah a) perorangan warga negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat; c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara.

 

Persoalannya, meskipun anggota DPR dapat mendaku sebagai perorangan warga negara atau mewakili lembaga negara, namun Pasal 54 UU MK menempatkan DPR sebagai pemberi keterangan dalam perkara pengujian undang-undang. Artinya, pengujian undang-undang di MK tidak menghendaki DPR menjadi pemohon.

 

Penempatan DPR (dan juga presiden) selaku pembuat undang-undang sebagai pemberi keterangan tidak bisa dipahami terbatas pada pengaturan dalam UU MK karena sebenarnya desain konstitusional pengujian undang-undang memang menghendaki seperti itu. Desain konstitusional itu bisa ditelusuri pada perdebatan perumusan kewenangan MK dalam menguji undang-undang oleh para pelaku perubahan UUD 1945.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait