​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)
Kolom

​​​​​​​Prahara Etik di Mahkamah Konstitusi Oleh: Alfin Sulaiman*)

​​​​​​​Terdapat beberapa hikmah dari peristiwa ini.

Bacaan 2 Menit
Alfin Sulaiman. Foto: Koleksi Pribadi
Alfin Sulaiman. Foto: Koleksi Pribadi

Artikel bertajuk “Ketua Tanpa Marwah” (Kompas, 25/1/2018) sangat layak dibaca dan dicerna secara bijaksana oleh masyarakat, khususnya kalangan hukum, baik akademisi, praktisi, maupun para pemerhati Mahkamah Konstitusi (MK). Pilihan sikap yang dilakukan Sdr. Abdul Ghoffar Husnan sebagai penulis artikel tersebut dalam kapasitas dan identitasnya sebagai pejabat fungsional Peneliti di Mahkamah Konstitusi (MK) terbukti berhasil membuat geger dunia hukum Indonesia.

 

Dengan pilihan sikap menggunakan kapasitas dan identitasnya sebagai Pejabat Fungsional Peneliti pada MK jelas menghasilkan resonansi yang berbeda dibanding jika beliau menyatakan sikap dan pendapatnya dalam kapasitas dan identitas pribadi yang secara konstitusional dijamin haknya atas nama “kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” (Pasal 28 UUDNRI Tahun 1945) atau setidak-tidaknya menggunakan kapasitas dan identitas lain (seperti mahasiswa misalnya) yang lebih terjamin keleluasaannya atas nama kebebasan akademik.

 

Pikiran yang disampaikan secara tertulis dan terbuka oleh Sdr. Abdul Ghoffar Husnan pada intinya mengetuk “hati sanubari” Hakim Konstitusi Arief Hidayat untuk mundur yang kemudian nampaknya mendapat dukungan dari segelintir masyarakat, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, meskipun belum sepenuhnya konkrit, apakah Hakim Konstitusi Arief Hidayat diminta mundur sebagai Ketua MK atau mundur sebagai Hakim Konstitusi? sebab dalam artikel tersebut hanya dinyatakan “…oleh karena itu, menyikapi putusan Dewan Etik untuk yang kedua kalinya, seharusnya Arief Hidayat mundur…”.

 

Dengan demikian, mundur sebagai Ketua MK atau mundur sebagai Hakim Konstitusi jelas merupakan 2 (dua) persoalan hukum yang berbeda dan akan menghasilkan implikasi hukum yang juga berbeda.

 

Secara normatif dalam Pasal 23 ayat (1) UU No.24/2003 jo. UU No.8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang terdapat pengaturan bahwa salah satu alasan Hakim Konstitusi diberhentikan secara hormat adalah “mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua MK”.

 

Sehingga jika yang diharapkan dari Arief Hidayat adalah mundur sebagai Hakim Konstitusi maka hal ini sepenuhnya mengandalkan hati nurani dan inisiatif yang bersangkutan. Meskipun jika yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri maka hal itupun dijamin berdasarkan konstitusi dan UU MK.

 

Sebab secara normatif, tidak ada satu ketentuan pun yang dapat membuat Hakim Konstitusi berhenti dari jabatannya hanya karena mendapat desakan (meskipun boleh jadi terstruktur, sistematis, dan masif) dari masyarakat, kecuali yang bersangkutan secara sukarela mengundurkan diri.

Tags:

Berita Terkait