Pencabutan 32 Regulasi ESDM Dinilai Belum Beri Kepastian bagi Investasi
Berita

Pencabutan 32 Regulasi ESDM Dinilai Belum Beri Kepastian bagi Investasi

Kementerian ESDM dinilai tidak melakukan kajian legal dan teknis-ekonomis yang memadai sebelum mengeluarkan peraturan.

Oleh:
CR-26
Bacaan 2 Menit
Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral, Foto: Sgp
Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral, Foto: Sgp

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan telah mencabut sekitar 32 regulasi sektor ESDM pada Senin (5/2) kemarin, yang tersebar pada subsektor minyak dan gas bumi (migas), mineral dan batubara (minerba), ketenagalistrikan, energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) termasuk regulasi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

 

Maksud pencabutan itu diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi masuk di sektor padat modal ini. Namun, penghapusan aturan tersebut masih dinilai belum cukup untuk memberi kepastian bagi investor ESDM untuk menanamkan modalnya di Intudonesia. Hal tersebut diutarakan oleh mantan Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonathan Handoyo.

 

“Aturan yang dicabut masih terlalu sedikit dan kuno,” kata Jonathan saat dihubungi Hukumonline di Jakarta, Selasa (6/2/2018).

 

Jonathan, yang juga pelaku usaha di sektor kelistrikan dan pengolahan dan pemurnian mineral mentah (smelter), justru mengeluhkan kebijakan Kementerian ESDM yang mengizinkan ekspor mineral mentah melalui Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

 

Sebab, aturan tersebut pemerintah membuka peluang ekspor bijih nikel kadar dan bauksit yang berdampak pada kurangnya pasokan bahan baku bagi industri smelter. “Kalau aturan ini dibiarkan terus-menerus, maka industri smelter dan hilirisasi akan hancur-hancuran,” kritiknya.

 

Jonathan juga menilai aturan pemerintah mengenai pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk penyediaan tenaga listrik dalam Permen Nomor 12 Tahun 2017 tidak tepat. Pasalnya, pemerintah menetapkan harga bahan bakunya tidak menguntungkan bagi pelaku usaha karena harganya di bawah energi fosil atau batubara. “Tidak mungkin harga solar cell (pembangkit listrik tenaga surya) harganya di bawah fosil,” kata Jonathan.

 

Ia menjelaskan negara Timur Tengah seperti Arab Saudi memungkinkan untuk memproduksi PLTS dengan harga murah. Pasalnya, kondisi geografis kawasan tersebut memungkinkan melakukan itu. Sementara Indonesia memiliki kesulitan dari sisi geografis dan sosial.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait