PSHK: Urusan Penelitian Harusnya Bukan Wewenang Kemendagri
Berita

PSHK: Urusan Penelitian Harusnya Bukan Wewenang Kemendagri

Seharusnya secara tegas mengenai riset adalah tugas dari Kemenristekdikti. Kemenristekdikti harus menjadi inisiator dalam setiap kebijakan terkait dengan riset dengan melibatkan masyarakat.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Kemendagri. Foto: www.kemendagri.go.id
Gedung Kemendagri. Foto: www.kemendagri.go.id

Proses penyusunan dan pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) yang kemudian akan direvisi dinilai rancu dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahkan, tugas mengurusi penelitian sejatinya dinilai bukan kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melainkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

 

“Permendagri itu yang disebut 'pada prinsipnya dibatalkan dan kembali ke peraturan lama untuk kemudian di-update dan diperbaiki setelah menerima masukan dari akademisi, lembaga penelitian dan DPR' ini menimbulkan persoalan baru dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Rizky Argama saat dikonfirmasi Hukumonline, Rabu (7/2/2018). Baca Juga: Permendagri Wajib Kantongi SKP Akhirnya Dibatalkan

 

Menurut Rizki, pembentukan regulasi pada satu sektor pemerintahan harus merujuk atau menyesuaikan dengan tugas dan fungsi dari Kementerian/Lembaga pembentuknya. Dalam hal ini, sektor penelitian atau riset adalah tugas dan fungsi dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015, bukan tugas dan fungsi Kemendagri.

 

“Karena itu, pengaturan izin penelitian di bawah Kemendagri menunjukkan adanya kerancuan dan tumpang tindih dalam menjalankan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dalam pemerintahan,” kritiknya.  

 

Rizky menuturkan Permendagri ini telah selesai disusun, disahkan, dan kemudian telah dimuat dalam Berita Negara. Bahkan, Permendagri Nomor 3 Tahun 2018 ini sudah resmi dipublikasikan dalam situs Direktur Jenderal Perundang-undangan di Kementerian Hukum dan HAM.

 

Apabila hendak dibatalkan, kata Rizki, Mendagri seharusnya membentuk Permendagri baru untuk membatalkan Permendagri Nomor 3 Tahun 2018. Sebab, penggunaan frasa “pada prinsipnya dibatalkan” tidak dapat membatalkan secara otomatis suatu peraturan yang sudah disahkan.

 

“Frasa ‘pada prinsipnya dibatalkan’ juga menimbulkan kerancuan dan berdampak menimbulkan ketidakpastian hukum. Seharusnya Menteri Dalam Negeri membentuk Permendagri baru untuk mencabut Permendagri Nomor 3 Tahun 2018, bukan merevisi,” pintanya.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait