Tentang Aktualisasi Yurisprudensi
Kolom

Tentang Aktualisasi Yurisprudensi

​​​​​​​Memang terbuka peluang bagi akademisi hukum untuk mengembangkan kajian-kajiannya, tetapi itu hanya akan terjadi jika terdapat dialog yang berkelanjutan dengan praktik peradilan.

Bacaan 2 Menit
Imam Nasima. Foto Istimewa.
Imam Nasima. Foto Istimewa.

The object of a Report is, not to inform the public of all that passes in a Court of Justice, but to preserve a record of what is decided to be law; and the object of having this record is, to facilitate the study of the law itself.” [Tujuan dari suatu Laporan bukan untuk menginformasikan kepada publik tentang semua yang telah terjadi di Pengadilan, namun untuk memelihara suatu catatan tentang apa yang diputuskan sebagai hukum; dan tujuan memiliki catatan ini adalah untuk memfasilitasi pembelajaran hukum itu sendiri.] (Lord Lindley, Paper on Legal Reports, 1863)

 

Dalam sebuah artikel liputan Hukumonline mengenai salah satu diskusi pada IJRF (Indonesian Judicial Reform Forum) berjudul ‘Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia’, pesan yang barangkali akan ditangkap oleh pembaca adalah bahwa tidak ada permasalahan akan kepastian hukum dalam praktek hukum di Indonesia, karena yurisprudensi telah diakui sebagai ‘sumber hukum yang sangat penting bagi hakim’. Namun, disebutkan pula bahwa penanganan perkara juga harus dilihat kasus per kasus, karena setiap perkara pada dasarnya berbeda. Sehingga, pertanyaannya kemudian, apakah yurisprudensi itu dapat dianggap sebagai hukum yang berlaku?

 

Pada kenyataannya, terlepas dari adanya beberapa perkembangan positif yang telah terjadi di Mahkamah Agung, sebuah artikel yang juga dipublikasikan melalui Hukumonline telah menunjukkan permasalahan kepastian hukum yang masih terus dihadapi. Dalam kolomnya berjudul ‘Inkonsistensi Sikap MA Dalam Perkara Narkotika’, Arsil menunjukkan adanya ketidakpastian dalam penerapan Pasal 112 dan Pasal 127 UU Narkotika, dalam arti kapan suatu perbuatan harus dianggap sebagai tindakan menguasai/memiliki atau menyalahgunakan benda terlarang tersebut.

 

Bahwa ketidakpastian seperti itu berdampak pada adanya perbedaan perlakuan yang belum tentu didasarkan pada suatu kriteria yang adil, sepertinya tak sulit untuk dibayangkan, mengingat dampak dari penggunaan pasal tersebut, dalam hal ini, akan berakibat pula pada berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa.

 

Ini dapat kita lihat, misalnya, dalam artikel Eric Manurung di Hukumonline baru-baru ini. Dari sisi terdakwa, berikut keluarganya, tentu wajar timbul pertanyaan apakah mereka diperlakukan sama (adil) sebagaimana pihak-pihak lain yang menghadapi masalah yang sama. 

 

Di sini, menurut hemat penulis, sesungguhnya terdapat sebuah titik temu antara keadilan dan kepastian hukum. Nilai-nilai keadilan yang selama ini mungkin telah (atau belum) diterapkan oleh pengadilan dalam memutus perkara, ternyata tidak dapat dipastikan, sehingga melahirkan rasa tidak percaya pada lembaga peradilan. Jadi, justru untuk menjamin adanya perlakuan yang sama itu pulalah, dibutuhkan adanya suatu kriteria normatif yang dapat dijadikan patokan aktual bagi para pihak yang berurusan dengan pengadilan.

 

Bagi para pengemban profesi hukum, pengetahuan aktual mengenai apa yang berlaku dan tidak berlaku, tentu akan merefleksikan pula profesionalitas mereka. Terkait hal ini pula, barangkali kita patut mengapresiasi adanya perkembangan positif yang tengah berlangsung di Mahkamah Agung sebagaimana disampaikan pada forum IJRF yang lalu. Saat ini, pendapat-pendapat terkini Mahkamah Agung telah dipublikasikan secara berkala dalam bentuk ‘Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar’, di samping putusan-putusan penting yang dipublikasikan dalam Laporan Tahunan setiap tahunnya.

Tags:

Berita Terkait