Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan
Kolom

Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan

​​​​​​​Upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict).

Bacaan 2 Menit
Reza Fikri Febriansyah. Foto: dokumen pribadi
Reza Fikri Febriansyah. Foto: dokumen pribadi

Dalam rapat Tim Perumus (Timus) RUU KUHP antara Pemerintah dan Komisi III DPR ( 5 Februari 2018) yang disepakati bersifat terbuka tercetus suatu kesepakatan bahwa perlu dilakukan rekriminalisasi delik penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden yang sebelumnya tercantum dalam Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP.

 

Padahal, norma-norma dalam pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.

 

Melawan Lupa

Hampir dua belas tahun yang silam, tepatnya 4 Desember 2006, melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006, MK telah memutuskan bahwa Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal a quo sejatinya memuat kriminalisasi dan penalisasi terhadap delik penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden/Wakil Presiden. Putusan a quo boleh dikatakan sebagai salah satu landmark decision sekaligus bersifat kontroversial sebab terdapat 4 hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion).

 

Khusus terhadap Pasal 134 KUHP, dalam Putusan a quo setidaknya terdapat beberapa pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK yang signifkan, antara lain:

 

1). Pasal 134 KUHP secara historis dianggap sebagai salah satu simbol kolonialisme karena konkordan dengan Pasal 111 Wetboek van Strafrecht Nederland yang mengatur kriminalisasi dan penalisasi delik “dengan sengaja menghina martabat Kepala Negara (Raja/Ratu)” atau yang diistilahkan sebagai opzettelijke beleediging den Koning of der Koningin. Dalam penerapannya di Hindia Belanda, pemerintah kolonial Hindia-Belanda pun kemudian menerapkan ancaman pidana yang lebih berat (pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300,-) daripada penerapannya di negeri Belanda sendiri (pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 300 gulden) dengan alasan guna memelihara ketertiban umum (rechtsorde);

 

2). Pasal a quo dianggap oleh MK tidak relevan lagi diatur dalam negara Republik Indonesia, sebab dalam suatu negara republik, kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan kepentingan pribadi Presiden (dan Wakil Presiden) mengingat Presiden/Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem Pemilu yang demokratis, sedangkan Raja/Ratu dalam sistem pemerintahan kerajaan/kekaisaran/kesultanan (kingdom) diangkat secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan (erfopvolging);

 

3). Perlu diingat ketentuan Pasal V Oendang-Oendang No.1/1946 sebagai toets steen dan raison d’etre pasal-pasal KUHP yang menyatakan bahwa: “…Peraturan Hukum Pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan , atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku”;

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait